Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
karena dinilai menimbulkan diskriminasi pendidikan. RSBI/SBI merupakan sekolah
mahal dengan fasilitas khusus. Hanya anak orang kaya yang bisa bersekolah di
sini karena biaya sekolahnya mencapai belasan juta per tahun. Disebut juga
sekolah unggulan karena berbagai fasilitasnya di atas sekolah reguler.
Diskriminasi sangat dibenci Presiden pertama
Indonesia Soekarno. Termasuk diskriminasi di bidang pendidikan. Soekarno dulu
mati-matian melawan diskriminasi saat bersekolah di Hoogere Burger School,
Surabaya. HBS adalah pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas.
Di sana jelas terasa diskriminasi bagi siswa
pribumi atau inlander.
Hanya kalangan ningrat dengan otak yang encer bisa sekolah di HBS. Soekarno yang
bukan berasal dari keluarga kaya pun ngos-ngosan.
"Memang tidak murah bagi seorang inlander untuk bisa bersekolah di HBS. Di
samping harus membayar 15 rupiah setiap bulan untuk uang sekolah dan pet
seragam bertuliskan HBS, kami juga harus mengeluarkan lagi 75 rupiah setiap
tahun untuk uang buku. Aku ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap
rupiahnya dan menjaganya jangan ada lagi yang terpakai untuk hal yang tidak
perlu," kata Soekarno dalam
biografi yang ditulis Cindy Adams.
Dari 300 siswa HBS Surabaya, hanya ada 20
anak pribumi. Soekarno pun tak
punya banyak teman di sekolah. Dia sering berkelahi dengan anak-anak Belanda.
Diskriminasi
juga terasa dalam nilai dan sistem pengajaran. Hampir tak mungkin siswa pribumi
diganjar nilai 10. Hanya anak-anak Belanda yang boleh mendapatkannya.
"Kami berusaha belajar
dengan keras, tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam, nilai yang
diperoleh anak-anak Belanda tetap lebih tinggi," kata Soekarno kecewa.
Bukan Soekarno kalau
tidak melawan. Setiap hari melihat tokoh pergerakan HOS Cokroaminoto membuat nasionalisme Soekarno muda
selalu mendidih. Soekarno terus
menyampaikan ketidaksukaannya terhadap diskriminasi dan kolonialisme.
"Belanda berkulit putih. Kita sawo
matang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita lurus dan hitam. Mereka tinggal
ribuan kilometer dari sini. Jadi mengapa kita harus bicara bahasa
Belanda?" protes Soekarno.
Melihat gambaran di atas, tentu Soekarno juga
tidak akan setuju adanya diskriminasi pendidikan di Indonesia. Soekarno pun tak
akan sudi melihat pendidikan tak bisa dinikmati oleh rakyat miskin.