Catatan
Redaksi: Inilah pidato politik Bung Karno, 8 bulan setelah presiden
pertama republik Indonesia ini dilengserkan oleh konspirasi kelompok sipil
sayap kanan dan angkatan darat melalui keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Pidato ini sangatlah penting untuk menangkap suasana zaman ketika itu, kala
transisi kekuasaan secara perlahan tapi pasti bermuara pada kejatuhan Sukarno
dari tampuk kekuasaan, Suharto tampil ke pentas politik nasional sebagai Sang
Dalang Baru yang menggelar lakon pertanjukkan yang berbeda dengan presiden
terdahulu. Selamat membaca dan tetap berpikir merdeka.
Saudara-saudara,Di
kalanganmu itu aku melihat tadi Pak Mukarto. Tapi kok sekarang nyisih ya. Aku
melihat Pak Adam Malik, belakang. Aku melihat Pak Tjokro. Dan di hadapanmu, engkau
melihat aku.
Baik Pak Mukarto, maupun Pak Tjokro, maupun Pak Adam Malik,
maupun aku, dulu, muda, dulu ikut-ikut muda. Sekarang saja sudah ada yang sudah
ubanan rambutnya seperti Pak Mukarto. Yang tadi aku ceritakan waktu physical
revolution mulai, beliau adalah, kita, penyeludup, smokkelaar untuk mendapatkan
senjata. Physical revolution untuk mendapat pembiayaan, uang buat perwakilan
kita di luar negeri. Kemudian pula bapak-bapak itu di waktu muda ikut-ikut giat
di dalam pergerakan nasional ataupun di dalam physical revolution.
Demikian pula aku.
Engkau telah sering mendengar mengenai diriku, bahwa aku ini
sejak umur 16 tahun, 16 tahun, telah mencemplungkan diri dalam gerakan untuk
tanah air, bangsa, cita-cita. Pada waktu aku umur 16 tahun, aku adalah siswa
daripada sekolah menengah Belanda di Surabaya HBS, Hogere Burger School. Siswa.
Pada waktu itu aku karena telah ikut bercita-cita, menjadi anggota daripada
satu organisasi pemuda Jawa, pemuda dan pemudi Jawa. Namanya Trikoro Darmo.
Trikoro Darmo.
Demikian pula bapak-bapak tua sekarang ini dulu semuanya, pada
waktu masih muda telah ikut berkecimpung di dalam gerakan-gerakan. Ada yang
seperti Bapak menjadi anggota Trikoro Darmo. Pak Leimena yang duduk di sana,
dedengkot tua Pak Leimena, dulu pun menjadi anggota daripada satu gerakan
pemuda Ambon.
Bung Hatta juga pada waktu masih muda menjadi anggota daripada
satu serikat siswa Sumatera, Jong Sumatranen Bond.
Pak Leimena punya organisasi namanya Jong Ambon.
Nah, kita sekarang dedengkot-dedengkot tua. Sejak dari muda kita
telah bukan saja ikut, ya nak, jangan lihat itu, lihat hidungnya Bapak. Bapak
itu kalau pidato dilihat mata anak anggota GMNI itu lantas Bapak ikut
menyala-nyala.
Ha, dedengkot-dedengkot itu sekarang ada, ada lo, di kalangan
mahasiswa yang waduh, memaki-maki kepada kami, mencerca kami. Sampai tempo hari
itu, sampai Bapak itu setengah menangis.
Pak Leimena yang sejak dari mudanya telah berkecimpung
mencemplungkan diri dalam gerakan untuk kepentingan bangsa dan tanah air,
cita-cita. Sekarang di kalangan mahasiswa ada yang waduh, bahkan mengucapkan
kata-kata yang tidak baik: Kami tidak sudi orang “cap”, atau “cap Leimena”,
“semacam Leimena”. Masya Allah, pemuda-pemuda zaman sekarang ini bagaimana. Dan
engkau tahu Bapak sendiri sekarang ini ada yang waduh sudah habis-habisan lah,
habis-habisan.
Padahal, padahal, Bapak, Pak Leimena, Pak Mukarto, Pak Adam
Malik, Pak Tjokro, dan macam-macam banyak sekali Pak, Pak, Pak itu, sedari
mudanya boleh dikatakan menyerahkan diri, bahkan mengorbankan kebahagiaan hidup
untuk kepentingan tanah air, bangsa dan cita-cita.
Nah, sekarang engkau pemuda-pemuda. Bukan saja engkau jangan
ikut pemuda-pemuda yang begitu itu tadi, yang mencerca kepada Pak Leimena, Pak
Mukarto, dan lain-lain sebagainya, tetapi aku menghendaki supaya engkau pun
mengetahui tugas dan kewajiban sebagai pemuda. Tugas kewajibanmu sebagai
mahasiswa.
Pernah kukatakan, menjadi mahasiswa zaman sekarang ini tugasnya
adalah dua, tugasnya dua. Satu, untuk terus ikut menjadi pelopor daripada
revolusi kita sekarang ini. Kan menjadi pelopor itu berarti, bukan saja
berjalan di muka, tetapi yaitu sebagai kukatakan berulang-ulang, jangan
meninggalkan sumber daripada revolusi, jangan menyeleweng daripada riilnya
revolusi. itu satu.
Kedua, untuk menjadi unsur mutlak di dalam pembinaan. Sebab,
revolusi kataku, kemarin pun diterangkan panjang lebar dihadapan anggota MPP
PNI, revolusi adalah di satu pihak menjebol, di lain pihak membina. Menjebol
kepada imperialisme, menjebol kepada sistem yang tidak sesuai dengan revolusi,
sistem sosial yang tidak sesuai dengan revolusi. Tegasnya menjebol sistem
feodalisme, menjebol sistem kapitalisme. Di samping itu membina, membina,
membangun satu barang baru yang memberi kebahagiaan kepada rakyat Indonesia
seluruhnya. Dus di satu pihak menjebol, di lain pihak membina. Karena itu aku,
sejak daripada pecahnya revolusi fisik kita, telah kuterangkan, revolusi adalah
satu simfoni. Simfoni itu adalah lagu yang merdu dikeluarkan oleh rombongan
bersama. Ada yang memegang biola, ada yang memegang gitar, ada yang memegang
drek, dek, dek, dek, dek, tambur, ada yang memegang macam-macam pesawat. Tetapi
bersama-sama mengeluarkan satu simfoni yang merdu. Dan aku berkata, revolusi
adalah simfoni daripada destructie dan constructie. Destructie yaitu menghancurkan,
atau dengan perkataan yang baru tadi kuucapkan menjebol. Constructie,
membangun, membina, mencipta, to create, scheppen, kata orang Belanda.
Nah, ini untuk to create, kamu orang semuanya mahasiswa mengerti
perkataan create. Scheppen, itu tidak semua kamu mengerti, yaitu bahasa
Belanda, tapi artinya sama dengan create, membina, membangun, mencipta. Created
itu kita memerlukan pengetahuan, memerlukan skill. Sebab, tujuan revolusi
adalah, sebagai kukatakan berulang-ulang dan engkau katakan berulang-ulang,
satu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitaion de l’homme par l’homme, tanpa
exploitation de nation par nation. Pendek kata, tujuan revolusi adalah Ampera.
Ampera di dalam arti aksi Ampera, arti aksi Ampera. Jangan Ampera sebagai
diterangkan atau dikatakan oleh satu golongan mahasiswa zaman sekarang. Nanti
aku terangkan.
Dan aku mengucap syukur terhadap kepada Tuhan bahwa akulah
fabrikant. Fabrikant, pembuat kata Ampera itu, Amanat Penderitaan Rakyat,
bersama-sama dengan yang kau katakan pada waktu melantik Akabri, Akademi
Angkatan Bersenjata, bersama-sama dengan Bapak Sukarni. Kita ciptakan satu
perkataan untuk menjadi slogan daripada perjuangan kami berdua,
Soekarno-Soekarni membuat kata baru Ampera, Amanat Penderitaan Rakyat.
Bagaimana? Nah, inilah yang aku akan terangkan kepadaku lebih dahulu. Umur 16
tahun, aku menjadi anggota Trikoro Dharmo. Itu kumpulan mahasiswa Jawa.
Perkataannya saja sudah Jawa, Trikoro Dharmo.
Aku pada waktu itu diindekoskan. Apa perkataan indekos zaman
sekarang di pondokkan, ditumpangkan. Diindekoskan, ditumpangkan atau di
pondokkan, diindekoskan kepada rumahnya pemimpin ulung Umar Said Tjokroaminoto,
yang kemudian menjadi haji, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Aku diindekoskan di
situ.
Nah, ini belakangan, Saudara-saudara, syukur aku mengucapkan
kepada Tuhan, kok aku diindekoskan di situ oleh orang tuaku. Tidak diindekoskan
ke rumah orang lain, kok diindekoskan di rumahnya seorang pemimpin.
Apa sebab? Bukan saja aku di rumah Tjokroaminoto itu sering
bicara dan mendapat pengajaran dari Tjokroaminoto almarhum. Tetapi di rumah Pak
Tjokro itu aku berjumpa dan bercakap-cakap lama, kadang jauh malam, sampai
kadang hampir fajar pagi, dengan pemimpin-pemimpin lain yang bertamu kepada Pak
Tjokro atau yang beberapa hari logger-kan di rumahnya Pak Tjokro itu. Antara
lain siapa? Antara lain almarhum Haji Agus Salim. Antara lain siapa? Almarhum
Soerjopranoto. Antara lain siapa? Sosrokardono. Andara lain siapa? Semaoen.
Antara lain siapa? Tjipto Mangoenkoesoemo. Antara lain siapa? Douwes Dekker.
Yang kemudian ganti nama Setiabudi. Aku dus bicara dengan politisi, politikus
dari segala aliran. Bahkan aku bicara dengan pendiri daripada gerakan agama
yang bernama Kiai Haji Dahlan. Bukan saja bicara sebentar, tidak. Wong mereka
itu logger di rumahnya Tjokroaminoto. Itu rupanya sudah jamak, kebiasaan.
Lumrah.
Dulu itu kalau pemimpin pergerakan datang di suatu tempat, ya
logger-nya di tempat seseorang pemimpin gerakan lain, meskipun bukan dari
partainya.
Nah, rumah Pak Tjokro itu seperti hotel, Saudara-saudara, sering
kedatangan pemimpin-pemimpin itu. Dan aku sebagai orang yang indekos di situ,
waduh, sebentar bicara dengan Pak Haji Agus Salim, sebentar bicara dengan Pak
Soerjopranoto. Kamu barangkali sudah tidak tahu lagi Pak Soerjopranoto itu.
Soerjopranoto itu adalah dulu pemimpin kaum buruh pabrik gula. Tanah Jawa dulu
banyak sekali pabrik gula. Oleh karena memang imperialisme Belanda di tanah
Jawa itu terutama sekali mengambil hasil banyak dari gula, pabrik gula.
Pemimpin daripada kaum buruh pabrik-pabrik gula ini adalah Soerjopranoto. PFB
morat-marit, sebetulnya namanya PFB ini ialah Personeel Fabriek Bond. Kalau
bahasa Belanda yang betul mustinya ya Bond van Fabriek Personeel begitu. PFB,
Personeel Fabriek Bond. PFB. Malahan kaum buruh gula ini pernah mengadakan
mogok besar. Mogok untuk mendapatkan gaji lebih tinggi, jam kerja kurang. Dan
Pak Soerjopranoto dinobatkan oleh kongres daripada PFB ini menjadi, pakai bahasa
Belanda lagi Staking Koning, Raja Pemogokan. Hebat itu, hebatnya perjuangan,
Saudara-saudara, pada waktu itu menentang imperialisme. Mogok! Seluruh kaum
buruh pabrik-pabrik gula mogok. Disusul oleh Semaoen, komunis. Dulunya yaitu
Sarekat Islam.
Kemudian Sarekat Islam dengan kepalanya bernama PKI, Partai
Komunis Indonesia. Semaoen, dia pun sering datang di rumahnya Pak Tjokro. Saya
pun sering bicara dengan Semaoen. Sebagaimana, saya tanya, sebagaimana orang
muda lo, banyak maguru, aguru itu bahasa Kawi Sansekerta, maguru, berguru,
belajar menjadi murid daripada Pak Tjokro. Maguru kepada Semaoen. Bagaimana,
bagaimana, bagaimana? Dia kasih pengajaran.
Demikian pula aku maguru kepada Tjipto Mangoenkoesoemo, yang
namanya kita agungkan sampai sekarang. Misalnya, barangkali ada mahasiswa
sekolah dokter, tahu rumah sakit yang di sini kita namakan Rumah Sakit Tjipto
Mangoenkoesoemo. Aku maguru kepada Douwes Dekker, Setiabudi. Aku maguru kepada
Soeryaningrat, yang kemudian ganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Maguru.
Dengan perkataan yang sering kukatakan, aku ini nglésot di bawah kakinya Ki
Hadjar, di bawah kakinya Tjokroaminoto, di bawah kakinya Tjipto, di bawah
kakinya Douwes Dekker, di bawah kakinya Semaoen, di bawah kakinya
Soerjopranoto, di bawah kakinya Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiah. Jadi aku
dapat, dari semua pikiran dan aliran, aku dapat bahan. Nah, ini semua menjadi
satu simfoni bagiku, Saudara-saudara. Aku tidak hanya maguru kepada viool, aku
tidak hanya maguru kepada piano, aku tidak hanya maguru kepada gitar, aku tidak
hanya maguru kepada saksofon, aku tidak hanya maguru kepada tromp, yaitu
tambur, tidak. Aku maguru dari masing-masing itu dan aku maguru kepada simfoni
daripada ini semua.
Karena itu kalau aku sekarang ini berjumpa dengan pemimpin-pemimpin
yang sekarang oo, oo, oo. Ada lo, pemimpin-pemimpin yang petita-petiti. Hh, aku
ini dulu maguru kepada waduh pemimpin-pemimpin Indonesia dari golongan Islam,
maupun golongan nasionalis, maupun dari golongan komunis. Bahkan aku maguru
juga daripada pemimpin-pemimpin Belanda yang dulu ada di sini, pemimpin
sosialis.
Ini semua menjadi bahan bagiku. Nah, oleh karena itulah
maka sesudah aku menjadi anggota daripada Trikoro Dharmo, aku meluaskan gerakan
pemudaku menjadi Jong Java. Lebih jelas lagi Jong Java daripada Trikoro Dharmo.
Sebab, Trikoro Dharmo itu dulu maksudnya ya studie tok. Kalau Jong Java sudah
tegas dengan cita-cita, lebih tinggi daripada Trikoro Dharmo.
Tidak lama di Jong Java saya jelaskan dan saya lebarkan lagi
menjadi Jong Indonesia. Indonesia Muda. Bukan sendiri, bersama-sama dengan
pemimpin-pemimpin, dedengkot-dedengkot yang lain. Indonesia Muda tahun 1923,
Saudara-saudara, 1923 lo, lima tahun sebelum Sumpah Pemuda. Lima tahun sebelum
ada sumpah yang berbunyi: satu tanah air, satu bahasa, satu bangsa. Dedengkot
itu bernama Soekarno, dedengkot tua yang bernama Soediono, dedengkot tua yang
bernama Mohammad Hatta, dedengkot tua yang bernama Soebardjo, dedengkot tua
yang bernama Adam Malik, dan lain-lain sebagainya. Dedengkot tua-dedengkot tua
ini telah mengumandangkan ide persatuan Indonesia.
Dan aku mengumandangkan itu. Aku, Saudara-saudara, karena itu
tadi aku dapat bahan dari macam-macam aliran. Bahanku bukan hanya nasionalisme,
bukan hanya agama yang aku dapat dari Pak Tjokro, dari Pak Dahlan. Bahanku juga
dari marxisme, yang aku dapat dari Semaoen, yang aku dapat daripada
pemimpin-pemimpin Belanda sebagai Hartoh,Sneevliet. Pak Leimena kenal sama
Sneevliet itu? Sneevliet itu elek-elek dia menulis satu buku tebal tentang
Indonesia lo, Saudara-saudara. Kalau engkau masih suka, betul-betul suka
membaca, mbok cari buku Sneevliet itu bibliotek museum. Sneevliet menulis buku
perjuangan rakyat Indonesia, dan bagaimana seharusnya kita menghancur-leburkan
imperialisme di Indonesia ini. Sneevliet itu orang Belanda. Barangkali Pak
Leimena punya itu buku?
Lo, pinjamkan.
Aku punya buku sudah diserobot orang lain. Sneevliet. Aku dapat
juga daripada guru sekolahku yang bernama Hertog. Belanda, tapi dia adalah
sosialis, memberi tahu kepadaku sosialisme itu apa. Karena aku dapat banyak,
banyak, banyak bahan, karena aku mendapat simfoni itu tadi lantas aku juga
sebagai mahasiswa, wah, aku lantas gemar sekali belajar, gemar membaca. Sampai,
boleh dikatakan, aku kadang-kadang meninggalkan pelajaran-pelajaran di sekolah
untuk, waktunya aku pakai untuk, membaca buku-buku politik, yang tidak
diajarkan di sekolah kepada saya.
Aku membaca sejarah dunia, aku membaca sejarah bangsa-bangsa,
aku membaca kitab-kitab tentang gerakan kaum buruh, aku membaca tentang gerakan
Islam. Sampai-sampai aku tahun yang lalu, tahun yang lalu, jadi 1965 ini, aku
perintahkan untuk menyalin misalnya kitabnya Lothrop Stoddard, Lothrop
Stoddrad, The New World of Islam. Sekarang sedang diterjemahkan. Tempo hari
sudah sampai tercetak.
Jadi, aku ini gemar membaca, oleh karena aku anggap perlu untuk
mengisi otakku, mengisi pikiranku, mengisi semangatku selebar-lebar mungkin.
Jendela terbuka, ide-ide itu masuk di dalam ingatanku, pikiranku itu.
Ini aku ajarkan kepadamu. Jangan kamu itu ya mahasiswa,
mahasiswa, mahasiswa, mahasiswa, tetapi cuma diam, tidak. Apalagi, nah ini,
engkau ini berjuang di atas front dua macam, destructie, constructie, menjebol,
membina. Dalam hal pembina ini, tidak bisa kita membina tanpa orang yang tahu,
tidak bisa kita membina tanpa apa yang kukatakan, kader. Dengan gampangnya
saja, sosialisme, Saudara-saudara, yang harus kita bina itu. Sosialisme itu,
aku katakan berulang-ulang, tidak seperti air embun jatuh pada waktu malam,
tes. Tidak. Sosialisme harus dibina, didirikan, diperjuangkan, dengan segala
keuletan. Dan di dalam pembangunan pembinaan sosialisme itu, saya tidak cukup
hanya dengan semangat. Bahkan sumber semangat sebetulnya haruslah pikiran.
Sumber semangat adalah pengetahuan. Orang yang kurang pengetahuan, semangatnya
ya semangat yang sekedar he put. mati lagi. Oo kobar-kobar. put. mati lagi.
Tetapi semangat yang timbul daripada pengetahuan yang betul-betul lantas paku
di otak. Semangat yang demikian itu tidak bisa mati, Saudara-saudara.
Semangat yang demikian itu adalah semangat sebagai yang
dikatakan oleh Thomas Carlyle; orang bisa dikerangkeng, orangnya bisa
dikerangkeng, dimasukkan kerangkeng, tetapi semangatnya keluar dari kerangkeng.
Semangat yang demikian itu adalah apa yang dimaksud oleh Mahatma Gandhi, yang
dia berkata, semangat yang bisa brake prisson wall, memecahkan tembok-temboknya
penjara. Ia tidak bisa semangatnya dikurung. Semangat yang betul-betul sudah
timbul daripada alam pikiran yang yakin, semangat yang demikian itu brake
prisson wall, memecahkan tembok-temboknya penjara. Sebagaimana aku boleh
memakai contohku, apa hasil Belanda memasukkan aku di dalam sel. Umpamanya aku
mati di dalam sel, toh semangatku diambil oper oleh orang lain, diteruskan oleh
orang lain.
Maka, Saudara-saudara, benar pula ucapan seorang pemimpin yang
berkata idea have lage. Idea have lage, ide mempunyai kaki. Ide mempunyai kaki.
Orangnya dimasukkan bui di dalam penjara, diikat, dikerangkeng, dirantai,
tetapi dia punya ide berjalan terus. Idea have lage. Idea brake prisson wall.
Nah, Saudara-saudara, karena itu maka aku anjurkan engkau
membaca banyak, supaya semangat. Tapi semangat saja didalam pembinaan
sosialisme juga tidaklah cukup. Pengetahuan, bolak-baliknya itu. Pengetahuan
membangunkan semangat. Semangat harus didasarkan atas pengetahuan. Pembinaan
sosialisme harus dijalankan dengan semangat dan dengan pengetahuan. Karena itu
di dalam pembinaan sosialisme diperlukan lebih daripada pembinaan lain-lain,
kader, kader, kader. Dan engkau pemuda-pemuda, mahasiswa-mahasiswa, kita
harapkan menjadi kader di dalam dua front ini; kader di dalam desctructie,
menghantam, hancur leburkan kepada imperialisme, kapitalisme, feodalisme, dan
lain-lain, kader di dalam constructie, membangun masyarakat baru. Karena
cita-cita kita tentang masyarakat baru itu cita-cita tinggi, bukan sebagai
cita-cita yang dikemukakan, katakanlah Mahatma Gandhi.
Gandhi itu sebetulnya, Saudara-saudara, orang pemimpin besar
sekali, tetapi dia punya cita-cita lain daripada kita. Gandhi tidak mempunyai
cita-cita politik. Sebab, aku tanya sama Gandhi, Gandhi atau Mahatma,
Mahatmadji, dji itu yaitu ucapan tambahan menggambarkan kecintaan: Mahatmadji,
apakah cita-cita politik kita. Mustinya Gandhi menjawab, India lepas sama
sekali daripada Inggris. India disusun sebagai republik. En toh barangkali dia
senang kepada monarki. Atau kalau republik, apakah republik federal, ataukah
republik unitaristis. Gandhi tidak pernah menjawab pertanyaan ini. Tidak
pernah. Saya belum pernah menjumpai satu kalimat yang Gandhi ini nyata republiken,
atau Gandhi ini nyata India merdeka penuh lepas daripada Inggris, India
federalistis atau India unitaristis. Tidak. Gandhi paling-paling berkata home
rule, home rule. Home rule itu artinya pemerintah sendiri, self government.
Yang self government itu apa? Apakah bebas dari 100% daripada dominition
imperialisme. Ataukah ya masih terkungkung di dalam ikatan daripada
imperialisme itu. Gandhi tidak pernah. Dia selalu self government, seft
government, home rule, home rule. Dus Gandhi sebenarnya tidak mempunyai
cita-cita politik.
Kita sebenarnya telah mempunyai cita-cita politik: Indonesia
bebas merdeka, 100% merdeka daripada imperialisme. Indonesia republik. Tidak
raja-rajaan. Indonesia sama dengan unitaristis, republik kesatuan. Bukan
republik federal. Jelas kita punya cita-cita. Di kalangan pemimpin-pemimpin
kita sekarang ini sebetulnya ya, Saudara-saudara, ada yang federalis. Ya asal
tahu saja. Kita tidak, unitaris, tidak federal-federalan.
Gandhi mempunyai cita-cita sosial. Tetapi cita-cita sosialnya
lain lagi daripada cita-cita sosial kita. Sosial itu dari perkataan societas.
Societas artinya masyarakat. Cita-cita sosial adalah cita-cita mengenai susunan
masyarakat. Bagaimana masyarakat ini susunannya? Ada exploitation de l’homme
par l’homme apa tidak? Ada sistem penghisapan oleh gerombolan manusia pada
manusia lain apa tidak? Apakah cita-citanya itu adalah yaitu sama rasa sama
rata tiap-tiap manusia. Itu adalah cita-cita sosial.
Aku berkata, Gandhi mempunyai cita-cita sosial, tapi lain lagi
dari kita. Coba kau baca tulisan Gandhi, are you not tired sending there?
Please take a chair. Hh, take a chair, please. Ada kursi? Ha. Where are you
come? Ha! Australia. Kadang-kadang kalau bicara sama Australia itu susah.
Artinya begini, kita bilang Austrélier. Kalau orang Australia tulen bilang
Austrélier. I come, I come here today. What you say, todeé or today.
Nah, Gandhi mempunyai cita-cita sosial. Tetapi cita-cita sosial
yang kolot sekali. Cita-cita sosial yang retrogesif. Baca dia punya kitab.
Kitab yang termasyur. Misalnya dia punya kitab My Autobiography. Itu Gandhi,
dia menerangkan, dia punya cita-cita sosial, yaitu masyarakat supaya sederhana,
sederhana. Tiap-tiap orang mempunyai rumah sendiri. Tiap-tiap orang menenun
sendiri ia punya bahan pakaian. Tiap-tiap orang mempunyai, ia punya sapi
sendiri untuk ambil susu. Gandhi paling benci sama mesin-mesin. Bahkan benci
sama pabrik-pabrik. Gandhi berkata, kalau dia dengar kapal udara itu, dia punya
jiwa seperti waduh, tidak bisa tidur dia, tidak senang. Malahan dia berkata,
pabrik-pabrik, mesin-mesin, di dalam dia punya buku lo, ditulisnya this all
devil work. All devil work, semua bikinan setan: pabrik-pabrik, mesin-mesin.
Dia bilang tentrem, adem, tentrem. Kalau Pak Mardanus di dalam pedalangan
bilangnya, adem tentrem kadio siniram banju waju sewindu lawase. Dingin adem
tentrem seperti disiram air waju, air yang sudah lama dalam gentong, air
disimpan di dalam gentong satu windu lamanya, delapan tahun. Nah, itu air itu
sejuk sekali. Nah, kalau disiramkan di atas dirimu, sejuk sekali, adem tentrem
kadio siniram banju waju sewindu lawase.
Kita punya cita-cita sosial lain daripada itu. Kita malahan
menghendaki supaya Indonesia ini mempunyai kapal udara yang banyak, kapal udara
untuk rakyat. Mempunyai jalan aspal yang banyak, jalan aspal untuk rakyat.
Mempunyai kereta api yang banyak, kereta api untuk rakyat. Pabrik-pabrik yang
hebat yang membuat segala apa yang kita perlukan, untuk rakyat. Itu kita punya
cita-cita sosial, modern. Bukan cita-cita kolot seperti Gandhi.
Nah, untuk mengadakan masyarakat yang banyak pabriknya, again,
lagi, pabrik untuk rakyat lo, bukan pabrik untuk kapitalisme. Mesin adalah
memang jahat kalau digunakan untuk bikin gendutnya kantong kapitalis saja. Tapi
mesin adalah satu rahmat, nikmat dari Tuhan, kalau dipergunakan untuk
kepentingan rakyat. Membuat tekstil misalnya, Saudara-saudara, untuk rakyat.
Nah, itu mesin lantas menjadi satu. Wah, nikmat, rahmat. Jangan kita sebagai
Gandhi. Kita memerlukan tekstil, nah sudahlah, tiap orang harus ada mesin
pintal di rumah. Tanam kapas sendiri, petik kapasnya, giling kapasnya dengan
mesin pintal itu menjadi tali dan benang. Kemudian tenun, jeglek, jeglek,
jeglek, jeglek. Wah, itu bukan cita-cita kita.
Kita punya cita-cita ialah bahwa kita itu mempunyai pabrik-pabrik
tekstil yang besar, yang hasilnya tekstil jutaan meter untuk rakyat, untuk
kepentingan rakyat seluruhnya. Bukan untuk membikin gendutnya sang kapitalis
tekstil saja.
Kita menghendaki, kita pergi ke Bogor, kemana-mana naik auto.
Kalau Gandhi tidak. Naik gerobak, teklik, teklik, teklik, naik gerobak. Kita
menghendaki kapal udara untuk rakyat. Dus cita-cita sosial kita tinggi. Dan
ingin yang aku mau peringatkan kepadamu, penyelenggaraan daripada cita-cita
sosial yang tinggi itu tidak bisa, tidak mungkin tanpa kader. Kader perlu
sekali. Kita menghendaki air sungai kita semuanya menjadi air irigasi, untuk
memberi kesuburan kepada tanah kita yang sudah subur. Tapi untuk mengadakan
irigasi, Saudara-saudara, perlu insinyur-insinyur irigasi, perlu arsitek-arsitek
irigasi.
Kader untuk membikin tekstil, seperti tadi itu, kader. Untuk
membikin jalan-jalan aspal yang beribu-ribu kilometer, kader.
Masak, Saudara-saudara, saya datang di lain negeri, misalnya
Afghanistan, negeri kecil Afghanistan itu, adih saya melongo. Afghanistan itu
satu negeri ya, tapi negeri seperti terbelah dua. Sini satu bagian, sini
pegunungan, sini bagian nomor dua. Jadi, dua bagian yang terpisah satu sama
lain oleh gunung. Hh, coba, hampir-hampir seperti kita terpisah, mana ada
gunung yang memisah. Afghanistan, Saudara-saudara, berkata, tidak jadi apa.
Kita bikin tunnel menembus gunung itu. Tunnel berkilo-kilo meter. Biar ada
gunung, .
Kader untuk membuat hal yang demikian itu. Kan aku sering
berkata, jadilah kader, karena kader mutlak perlu. Jangan seperti dulu.
Mula-mula, di dalam revolusi Soviet. Mula-mula, pemimpin-pemimpin Soviet,
mula-mula mengira, oo untuk membangun sosialisme kita perlu banyak mesin,
banyak lokomotif, banyak pabrik, dan perkara uang untuk membeli itu bukan soal.
Kita beli saja lokomotif sebanyak-banyaknya di Jerman. Sebab, kata pemimpin
Soviet itu, yang saya baca dalam salinan bahasa Inggris, machines devide
everything. Machines devide everything, mesin lah yang menentukan segala hal.
Tapi apa jadinya, Saudara-saudara, sekadar hanya ada mesin saja, sosialisme
tidak bisa terbina, bahkan mesin-mesin itu banyak menjadi rusak dan bobrok.
Sama saja dengan kita, Saudara-saudara, kita beli traktor
banyak-banyak. Darimana Pak Leimena? Ha? Cekoslovakia. Ha, traktornya itu
banyak yang terlantar, banyak yang rusak. Karena apa? Kekurangan kader dan
kekurangan kemauan untuk menggerakkan traktor-traktor.
Karena itu Soviet Uni, sesudah pengalaman yang pahit dengan
mesin-mesin ini saja, lantas sadar, nomor satu penting, kader. Kemudian
diadakan slogan baru untuk, terutama sekali, gerakan pemuda. Gerakan pemuda
yang di Soviet dinamakan Komsomol. Pernah dengar itu? Komsomol. Wanitanya,
Komsomolka. Slogan yang dulu berbunyi, machines devide everything diganti
dengan kader devide everything. Kader lah yang menentukan segala hal. Kalau ada
kader, lo mbok mesinnya itu sudah bobrok, sekrupnya sudah dol semua, bisa sang
kader membuat sekrup baru, jalan.
Nah, kader devide everything.
Karena itu aku mengharap kepadamu untuk menjadi kader. Belajar,
membaca sebanyaknya. Belajar dengan tekun menjadi mahasiswa untuk menjadi
kader, kader daripada revolusi kita.
Saya tahu kamu orang banyak yang tidak bisa masuk kuliah karena,
ada hal-hal, tidak boleh, tidak boleh, GMNI tidak boleh kuliah.
Nah, ketawa itu. Ya, apa tidak?
Asal tahu aja.
Ini memang yang menghalangi kamu masuk universitas ini,
menghalang-halangi kamu berkuliah ini, mereka itu semuanya, semuanya ngladrah.
Ia, itu yang ngladrah itu, artinya sudah tidak benar mereka punya pikiran.
Bagaimana mau membentuk satu negara, bagaimana mau membentuk satu masyarakat
sosialis tanpa kader, tanpa pemuda-pemudi masuk kuliah. Hh, mereka itu ngladrah.
Apa bahasa Indonesia ngladrah? Ha, tidak benar itu lo.
Ha, Bu Hardi, apa ngladra itu?
Tidak beres. Ngawur.
Tapi toh aku minta kepadamu, tekun engkau cari pengetahuan.
Sebagaimana bapak-bapak Saudara telah berbuat, dengan diriku sendiri, dulu itu
cari pengetahuan. Bisa di sekolahku, ya disekolahku, tidak bisa, aku cari
sendiri, agar supaya kita bisa menjadi kader daripada revolusi ini.
Memang revolusi itu ya tentu, sebagai Saudara-saudara kemarin
kuterangkan panjang lebar, kalau revolusi benar-benar revolusi, dan bukan
sekadar insurectie. Ada beda antara revolusi dengan insurectie. Revolution and
insurection. Insurection itu apa? Ya, sekadar ada semacam pemberontakan
bersenjata daripada suatu golongan. Angkat senjata mengadakan pemberontakan
dengan senjata, itu adalah insurectie. Kalau golongan yang kecil-kecilan itu
namanya coup. Coup de ta. Coup de ta itu bukan revolusi. Insurectie bukan
revolusi. Itu gendeng-gendengan.
Revolusi sejati ialah sebagai kukatakan tadi, suatu proses, satu
proses masyarakat yang berisikan, berintikan penjebolan dan penanaman, satu
proses masyarakat untuk membongkar sistem masyarakat itu sampai ke
akar-akarnya. Sistem masyarakat, sistemnya, Saudara-saudara.
Karena itu aku selalu berkata, orde, dalam pengertianku, orde
itu adalah satu social political system. Itu orde. Ada orde kapitalis. Ada orde
feodalis. Itu orde. Nah, ini revolusi adalah satu proses masyarakat untuk
mengubah sama sekali social political system yang berjalan di masyarakat itu.
Bukan sekadar mengubah mental thinking, neen, neen, neen. Social political
system, susunan masyarakat, susunan politik masyarakat. Masyarakat. Susunan ini
harus kita ubah. Sebagai kukatakan tadi, ada orde kapitalis, ada orde sosialis.
Nah, kita berjuang untuk orde sosialis ini. Dan jikalau kita membongkar orde
kapitalis untuk menjadi orde sosialis, itulah revolusi.
Revolusi menurut ucapan yang aku citeer dalam pidatoku Indonesia
Mengugat. He pemuda-pemudi baca-o, baca-o, baca, baca Indonesia Mengugat. Baca
Sarinah. Hh, mahasiswa-mahasiswi baca Di Bawah Bendera Revolusi dan lain-lain.
di situ aku citeer ucapan seorang profesor, Blunschli. Kamu di dalam kuliah
barangkali pernah mendengar nama Prof Dr Blunschli, yang dia berkata,
revolution ist apa? Eine Ungestaltung von Grund aus, revolusi adalah satu
perubahan. Ungestaltung, bukan supervisel, bukan di kulit, tetapi von Grund
aus. Eine Ungestaltung von Grund aus.
Nah, jikalau engkau tidak mengadakan Ungestaltung von Grund aus,
engkau bukan revolusioner. Revolution ist eine, Revolution ist eine
Ungestaltung von Grund aus[1]. Dan kita ini revolusioner, oleh karena kita mau
mengadakan social political system yang imperialistis, yang feodalistis, yang
kapitalistis. Yang tidak sosialistis menjadi satu social political system yang
sosialistis. Itu sebabnya kita ini bernama revolusioner dan menamakan diri kita
revolusioner, dan hanya jikalau mengejar political system yang sosialistis itu,
baru kita mempunyai hak untuk berkata, kita ini progresif revolusioner.
Yang tidak menghendaki satu social political system sosialistis,
yang tidak menghendaki hancurnya kapitalisme dari luar maupun kapitalisme di
dalam negeri sendiri, yang tidak menghendaki hancur-leburnya kapitalisme luar
dan dalam itu, yang tidak menuju kepada sosialisme itu, dia tidak mempunyai hak
untuk berkata bahwa dia adalah progresif. Perkataan progresif itu kan sekarang
dikecapkan.
Semua orang berkata progresif revolusioner, progresif
revolusioner, progresif revolusioner. Tanpa sebetulnya mengetahui apa arti
perkataan progresif revolusioner. Kita menamakan diri progresif revolusioner
oleh karena kita anti kapitalisme, anti imperialisme, anti feodalisme, pro
sosialisme, mati-matian berjuang untuk sosialisme. Itulah sebabnya kita namakan
diri kita progresif. Siapa yang menentang datangnya sosialisme,
menghalang-halangi datangnya sosialisme, oo lo mbok dia itu lari-lari tiap hari
dengan bom dan dinamit, dia tidak progresif. Malahan aku berkata, dia itu
sebetulnya retrogresif.
Progresif adalah yang menurut progresnya masyarakat. Retrogresif
yaitu yang menentang, bahkan beraliran anti daripada aliran masyarakat ini.
Jadi kalau kau betul-betul progresif revolusioner, engkau harus
diehartenieren engkau punya pikiran, engkau punya hati, engkau punya rambut,
engkau punya urat syaraf, semuanya sosialistis. Kalau engkau tidak sosialistis
sampai engkau punya pucuk rambut, sampai engkau punya pucuk urat syaraf, engkau
tidak progresif. Apakah ada di kalanganmu yang tidak demikian, artinya
revolusioner, revolusioner, tetapi tidak berjuang untuk datangnya sosialisme.
Memberi pengetahuan saya, GMNI berdiri di atas dasar ini; menjalankan revolusi,
membantu kepada revolusi, riilnya revolusi yang benar, yaitu di atas riil
Ampera.
Aku tadi berkata bahwa perkataan Ampera itu, ciptaan
perkataannya lo, the word itself, the word Ampera itself, ciptaanku
bersama-sama dengan Pak Karni. Aku menyaksikan lahirnya, bukan the word
sekarang ini, lahirnya penderitaan rakyat untuk, untuk, untuk ini. Sebab aku
ini dari umur 16 tahun, kataku tadi, telah berkecimpung di kalangan pergerakan.
Mula gerakan pemuda, Trikoro Dharmo, Jong Java, kemudian dijadikan Jong
Indonesia bersama-sama dengan pemuda-pemuda lain. dan aku menyaksikan dan
ikut-ikut pertumbuhan daripada gerakan itu.
Dulu tatkala aku umur 16 tahun, aku hanya mendengar dan mempelajari
gerakan tahun 1908, yaitu Pak Soedirohoesodo. Soedirohoesodo, tahun 1908,
mengadakan pergerakan, gerakan, rintis, rintisan, perintis daripada gerakan
nasional kita. Soedirohoesodo punya pergerakan belum nasional. Kalau nasional
itu sudah meliputi seluruh natie, itu asal perkataan nasional. Soedirohoesodo
tidak. Gerakannya boleh dikatakan gerakan kejawaan. Aku menyaksikan.
Kemudian waktu itu aku belum menyaksikan oleh karena aku ya,
baru umur 7 tahun. Tidak tahu bagaimana. Kau umur berapa? Setidak-tidaknya
bukan 7 tahun. Saya umur 7 tahun, belum mengerti apa-apa? Tapi pada waktu aku
masuk rumah Tjokroaminoto, aku sudah berumur 16 tahun, aku sudah tahu gerakan
kaum 1908 dari Pak Soedirohoesodo. Dan aku menyaksikan satu pertumbuhan baru
daripada gerakan ini. Dulu gerakan Pak Soedirohoesodo, kecuali kejawaan, hanya
dijalankan kaum terpelajar. Satu gerakan daripada kaum inteligensia, kaum
terpelajar, yang dulu itu dinamakan ndoro, ndoro, dokter. Dokternya pun dokter
Jawa, yaitu belum dokter seperti keluaran sekarang, tidak. Dokter Jawa. Pak
Soedirohoesodo sendiri ialah dokter Jawa. Gerakan kanjeng bupati, anggota
daripada Budi Utomo. Ada bupati yang anggota Budi Utomo. Bupati mana Pak
Mardanus? Hayo, hh? Bupati Karanganyar, anggota Budi Utomo. Gerakan daripada
ndoro-ndoro.
Tapi waktu aku masuk rumahnya Tjokroaminoto, aku menyaksikan
satu fase baru. Bahwa bukan lagi itu ndoro-ndoro, kaum terpelajar, tapi gerakan
rakyat, rakyat jelata, yaitu Sarikat Islam. Sarikat Islam adalah gerakan
pertama yang bersifat gerakan rakyat. Ya dasarnya lain daripada kita. Dasarnya
dulu itu yaitu mula-mula Sarikat Dagang Islam, hanya terdiri daripada
pedagang-pedagang Islam saja. Kemudian bertumbuh menjadi gerakan rakyat dengan
tujuan Islam. Itu aku saksikan. Malah aku baca, Tjokroaminoto itu saking
pengikutnya bukan puluhan, bukan ratusan, bukan ribuan, tapi jutaan,
Tjokroaminoto dinamakan di surat kabar Belanda de ongekroonde Koning van Java.
De ongekroonde Koning van Java, raja daripada tanah Jawa yang tidak bermahkota,
saking banyak pengikut. Hanya, ha hanya bedanya dengan kita ialah bahwa gerakan
rakyat Tjokroaminoto itu berdiri di atas asas yang salah, untuk tanggapan saja.
Yaitu dengan gerakan rakyat ini Sarikat Islam Pak Tjokro selalu mencari
kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda, kerjasama. Yang belakangan menjadi
perkataan kooperasi.
Sedang kita waktu itu pemuda, belakangan, pemuda ini sadar,
tidak bisa, tidak bisa kita mengadakan perbaikan hanya degan kooperasi. Benar
kita harus mengadakan massa aksi ini bukan lagi harus meminta, bukan lagi harus
kerjasama degan pihak Belanda, tapi harus menentang, bertempur di dalam arti
yang luas terhadap kepada kolonial Belanda. Perbedaan.
Nah, itu Saudara-saudara, saya formuleer di dalam tahun 1925-an.
Sesudah aku bersama-sama dengan pemuda lain mengadakan Indonesia Muda, aku
formuleer dengan perkataan pertentangan kebutuhan membuat kita harus
bertentangan di dalam kita punya perjuangan.
Tidak bisa kok kita dengan pertentangan kebutuhan ini berdiri di
satu platform kerjasama dengan pihak Belanda. Pertentangan kebutuhan. Kita mau
merdeka, situ mau meneruskan kolonialisme. Kita mau hidup cukup, situ mau
menghisap kita. Kita mau anak-anak kita semuanya masuk sekolah, situ mau
memberi sekolah hanya kepada anak-anak orang dari golongan atas. Kita mau
mengadakan satu sistem perwakilan, situ mau mengadakan sistem yang hanya
terdiri daripada orang-orang terkemuka saja.
Pendek, selalu pertentangan kebutuhan. Dan di dalam seluruh
sejarah dunia, Saudara-saudara, seluruh sejarah dunia adalah satu cerita
daripada pertentangan kebutuhan. Seluruh sejarah dunia. Di dalam tiap golongan,
tiap-tiap bangsa, umat manusia itu selalu ada dua golongan yang bertentangan
kebutuhan.
Nah, maka oleh karena itu, Saudara-saudara, kita harus sadar
bahwa kita ini bertentangan kebutuhan dengan, apalagi sekarang lo, dengan
sistem yang kita menjebol luar-dalam, maupun di dalam hal lain-lain banyak
pertentangan kebutuhan. Nah, kita harus sadar pertentangan kebutuhan. Berjuang
terus. Kita harus berjuang menghancur-leburkan golongan yang mau mempertahankan
dirinya terhadap kepada kita punya penjebolan itu. itu.itu. [*]
Sumber : http://gmnisumedang.wordpress.com/2012/06/18/pidato-bung-karno-di-depan-gmni-pada-tanggal-3-desember-1966/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar