Minggu lalu, dalam sebuah acara konferensi
pers, seorang aktivis marhaenis—sebutan bagi pengikut ajaran Bung Karno—berujar
lantang: “Sudah saatnya kita, kaum pergerakan, melakukan machtsvorming untuk
mengakhiri imperialisme saat ini.”
Seorang wartawan di samping saya, entah iseng atau
serius, tiba-tiba bertanya, “apa yang dimaksud “machtsvorming”? Si
aktivis pun langsung menjawab singkat, “machtsvorming adalah
pembangunan kekuatan atau kekuasaan.” Itu saja.
Kelihatannya si wartawan merasa mendapat
jawaban yang kurang memuaskan. “Halah, kok saya malah tambah bingung, mas,”
keluhnya kepada orang-orang di sekitarnya. “Kalau bicara di depan audiens yang
luas begini, ya, usahakan menggunakan istilah yang sudah diketahui semua
orang,” tambahnya.
Setahu saya, seiring dengan proyek Orde
Baru mengubur ajaran-ajaran Bung Karno, istilah machtsvorming memang
jarang digunakan. Meskipun, saya akui, istilah itu sangat populer di jaman
pergerakan hingga di akhir 1960-an. Jadinya, harus ada upaya mengelaborasi
kembali makna “machtsvorming” ala Bung Karno itu kepada publik.
Apa itu “machtsvorming”?
Secara harfiah, machts berarti
kuasa, tenaga, kekuatan, sedangkan vorming berarti
pembentukan. Dengan demikian, machtvorming bisa diartikan “pembentukan kuasa
atau kekuatan”.
Menurut Bung Karno, machtsvorming adalah
pembentukan kuasa atau penyusunan tenaga. Ia menekankan, machtsvorming merupakan
proses penciptakan paksaan/tekanan agar pihak musuh mau menuruti tuntutan atau
kehendak kita.
Landasan Machtvorming
Macthsvorming dibutuhkan karena beberapa
hal. Pertama, adanya kontradiksi atau pertentangan tak terdamaikan antara pihak
kaum sana dan kaum sini. Bung Karno merujuk pada kata-kata Karl Marx: “Tidak
ada klas penguasa manapun yang mau menyerahkan kekuasaannya secara sukarela
kepada klas lain.”
Bung Karno kemudian mengadopsi penjelasan
Marx itu dalam konteks negara jajahan. Katanya, antara negara penjajah dan
terjajah terjadi pertentangan yang tak terdamaikan. Ia menyebutnya sebagai
pertentangan antara kaum sana dan kaum sini.
Dalam kontradiksi itu, ujar Bung Karno, kaum
sana tidak akan dengan sendirinya tunduk pada tuntutan kaum
sini. Baginya, kaum sana hanya mungkin tuduk pada kaum
sini bila ada desakan atau paksaan. “Dan desakan itu hanya bisa kita
jalankan bilamana kita punya kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht,”
ujar Soekarno.
Kedua, rakyat negara jajahan hanya bisa
mematahkan imperialisme, berikut segala pengaruhnya, melalui pengambil-alihan
kekuasaan politik. Karena itu, menurut Bung Karno, perjuangan rakyat jajahan
haruslah perjuangan politik menuju perebutan kekuasaan.
Ia menegaskan, sebelum rakyat belum
memegang kekuasaan politik, maka syarat-syarat hidupnya—ekonomi, politik, dan
sosial-budaya—masih akan ditentukan oleh pihak penjajah. “Mencapai kekuasaan
politik bagi rakyat jajahan berarti mencapai pemerintahan nasional sendiri,
mencapai kemerdekaan nasional, mencapai hak untuk mengadakan UU sendiri,
mengadakan aturan-aturan sendiri, dan pemerintahan sendiri,” tegasnya.
Hal itu berlaku pula dalam perjuangan kaum
marhaen dan proletar melawan kaum feudal dan borjuis. Bung Karno mengingatkan,
jangan sampai kekuasaan politik negara Indonesia merdeka jatuh ke tangan kaum
borjuis dan ningrat. “Dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia
Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena
getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya,”
kata Bung Karno.
Ketiga, machtsvorming harus dilakukan di
atas prinsip radikalisme, yakni prinsip perjuangan yang menolak kompromisme,
perubahan setengah-setengah, politik lunak, dan segala bentuk politik
tawar-menawar dengan pihak kaum sana.
Bung Karno memaknai radikalisme sebagai
perjuangan menghancur-leburkan imperialisme dan kapitalisme hingga ke
akar-akarnya dan, kemudian, memperjuangkan pembangunan masyarakat yang sama
sekali baru; Sosialisme.
Untuk menjelmakan machtsvorming yang
berasaskan radikalisme itu, kaum marhaen harus menempuh jalannya “massa aksi”,
yaitu pergerakan massa rakyat yang sadar dan memahami tujuan-tujuan
perjuangan. Massa aksi menyadari bahwa tujuan perjuangan mereka adalah
membongkar kapitalisme/imperialisme dan melahirkan masyarakat baru.
Membangun Machtsvorming
Dari penjelasan Bung Karno di atas, kita
bisa menyimpulkan, bahwa machtsvorming adalah proses
mengakumulasi kekuatan. Karena itu, bisa disimpulkan, machtsvorming adalah
proses yang panjang dan dialektis.
Dalam tulisan “Mencapai Indonesia
Merdeka”, Bung Karno menjelaskan, machtsvorming bukan hanya penyusunan
wadah tenaga saja, tetapi juga penyusunan tenaga semangat, tenaga kemauan,
tenaga roh, dan tenaga nyawa.
Artinya, harus ada proses yang dialektik
antara proses memimpin perjuangan rakyat sehari-hari, pengorganisasian dan
pewadahan massa, dan proses penyadaran massa. Dialektika hal itulah yang—secara
simultan—akan melahirkan massa aksi.
Bagaimana membangun macthsvorming itu?
Pertama, pergerakan yang mengusung machtsvorming harus
terlibat dan memimpin perjuangan rakyat sehari-hari—kaum marxis menyebutnya
perjuangan ekonomis, seperti perjuangan menuntut kenaikan upah, menurunkan
pajak, menghapus kerja rodi, dan lain-lain.
Bagi Bung Karno, dengan terlibat dalam
“perjuangan kecil” sehari-hari itu, kaum pergerakan punya kesempatan
berhubungan langsung dengan massa luas, menyuluhi atau mengagitasi mereka, dan
mengorganisasikannya dalam wadah-wadah perjuangan.
Selain itu, Bung Karno beranggapan,
perjuangan sehari-hari adalah suatu schooling, suatu training,
suatu gemblengan tenaga menuju perjuangan yang lebih besar.
Kedua, kaum pergerakan harus terlibat
memanfaatkan segala ruang yang menyediakan kesempatan untuk mengorganisasikan
massa. Bung Karno tidak mengharamkan kaum pergerakan terlibat dalam pembangunan
badan-badan ekonomi dan sosial, seperti pembangunan koperasi, warung, rumah
anak yatim piatu, dan lain-lain.
Ketiga, melakukan propaganda
seluas-luasnya melalui famplet, majalah, koran, risalah-risalah (buku-buku),
dan lain-lain. Propaganda seluas-luasnya juga bisa diciptakan ruangnya melalui
rapat-rapat akbar (vergadering), pertemuan-pertemuan massa, kursus-kursus
politik, dan lain-lain.
“Bekerjalah dengan penamu, dengan mulutmu,
dengan gurungmu, dengan lidahmu! Ya, di dalam massa aksi ada faedahnya juga
bergembar-gembor! Gemborkanlah juga gurungmu sampai suaramu memenuhi alam,
gerakkanlah penamu sampai ujungnya menyala-nyala,” kata Bung Karno.
Keempat, pergerakan machtsvorming harus
terus menyuluhi atau memajukan kesadaran massa. Hal ini dilakukan melalui
kursus-kursus, pendidikan politik, brosur-brosur, majalah partai, dan
lain-lain.
“Massa aksi zonder (tanpa)
teori perjuangan, zonder kursus-kursus, zonder brosur-brosur
dan surat-kabar, adalah massa aksi yang tidak hidup dan tak bernyawa, yang
karenanya tak mempunya kemauan. Padahal, kemauan inilah yang bisa menjadi motor
tenaga massa aksi,” kata Bung Karno.
Pendek kata, machtvorming bisa dimaknai
sebagai pembangunan blok sosial-politik anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.
Dan, seperti ditegaskan Bung Karno, pembangunan blok sosial-politik ini tidak
mungkin tanpa sebuah alat politik, yang bertugas menyatukan kehendak kaum
tertindas dalam sebuah proyek politik bersama.
Timur Subangun, kontributor
Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar