Selasa, 04 Juni 2013

Bung Karno Dan Strategi Machtsvorming



Minggu lalu, dalam sebuah acara konferensi pers, seorang aktivis marhaenis—sebutan bagi pengikut ajaran Bung Karno—berujar lantang: “Sudah saatnya kita, kaum pergerakan, melakukan machtsvorming untuk mengakhiri imperialisme saat ini.”

Seorang wartawan di samping saya, entah iseng atau serius, tiba-tiba bertanya, “apa yang dimaksud “machtsvorming”? Si aktivis pun langsung menjawab singkat, “machtsvorming adalah pembangunan kekuatan atau kekuasaan.” Itu saja.

Kelihatannya si wartawan merasa mendapat jawaban yang kurang memuaskan. “Halah, kok saya malah tambah bingung, mas,” keluhnya kepada orang-orang di sekitarnya. “Kalau bicara di depan audiens yang luas begini, ya, usahakan menggunakan istilah yang sudah diketahui semua orang,” tambahnya.

Setahu saya, seiring dengan proyek Orde Baru mengubur ajaran-ajaran Bung Karno, istilah machtsvorming memang jarang digunakan. Meskipun, saya akui, istilah itu sangat populer di jaman pergerakan hingga di akhir 1960-an. Jadinya, harus ada upaya mengelaborasi kembali makna “machtsvorming” ala Bung Karno itu kepada publik.

Apa itu “machtsvorming”?

Secara harfiah, machts berarti kuasa, tenaga, kekuatan, sedangkan vorming berarti pembentukan. Dengan demikian, machtvorming bisa diartikan “pembentukan kuasa atau kekuatan”.

Menurut Bung Karno, machtsvorming adalah pembentukan kuasa atau penyusunan tenaga. Ia menekankan, machtsvorming merupakan proses penciptakan paksaan/tekanan agar pihak musuh mau menuruti tuntutan atau kehendak kita.

Landasan Machtvorming

Macthsvorming dibutuhkan karena beberapa hal. Pertama, adanya kontradiksi atau pertentangan tak terdamaikan antara pihak kaum sana dan kaum sini. Bung Karno merujuk pada kata-kata Karl Marx: “Tidak ada klas penguasa manapun yang mau menyerahkan kekuasaannya secara sukarela kepada klas lain.”

Bung Karno kemudian mengadopsi penjelasan Marx itu dalam konteks negara jajahan. Katanya, antara negara penjajah dan terjajah terjadi pertentangan yang tak terdamaikan. Ia menyebutnya sebagai pertentangan antara kaum sana dan kaum sini.

Dalam kontradiksi itu, ujar Bung Karno, kaum sana tidak akan dengan sendirinya tunduk pada tuntutan kaum sini. Baginya, kaum sana hanya mungkin tuduk pada kaum sini bila ada desakan atau paksaan. “Dan desakan itu hanya bisa kita jalankan bilamana kita punya kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht,” ujar Soekarno.

Kedua, rakyat negara jajahan hanya bisa mematahkan imperialisme, berikut segala pengaruhnya, melalui pengambil-alihan kekuasaan politik. Karena itu, menurut Bung Karno, perjuangan rakyat jajahan haruslah perjuangan politik menuju perebutan kekuasaan.

Ia menegaskan, sebelum rakyat belum memegang kekuasaan politik, maka syarat-syarat hidupnya—ekonomi, politik, dan sosial-budaya—masih akan ditentukan oleh pihak penjajah. “Mencapai kekuasaan politik bagi rakyat jajahan berarti mencapai pemerintahan nasional sendiri, mencapai kemerdekaan nasional, mencapai hak untuk mengadakan UU sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, dan pemerintahan sendiri,” tegasnya.

Hal itu berlaku pula dalam perjuangan kaum marhaen dan proletar melawan kaum feudal dan borjuis. Bung Karno mengingatkan, jangan sampai kekuasaan politik negara Indonesia merdeka jatuh ke tangan kaum borjuis dan ningrat. “Dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya,” kata Bung Karno.

Ketiga, machtsvorming harus dilakukan di atas prinsip radikalisme, yakni prinsip perjuangan yang menolak kompromisme, perubahan setengah-setengah, politik lunak, dan segala bentuk politik tawar-menawar dengan pihak kaum sana.

Bung Karno memaknai radikalisme sebagai perjuangan menghancur-leburkan imperialisme dan kapitalisme hingga ke akar-akarnya dan, kemudian, memperjuangkan pembangunan masyarakat yang sama sekali baru; Sosialisme.

Untuk menjelmakan machtsvorming yang berasaskan radikalisme itu, kaum marhaen harus menempuh jalannya “massa aksi”, yaitu  pergerakan massa rakyat yang sadar dan memahami tujuan-tujuan perjuangan. Massa aksi menyadari bahwa tujuan perjuangan mereka adalah membongkar kapitalisme/imperialisme dan melahirkan masyarakat baru.

Membangun Machtsvorming

Dari penjelasan Bung Karno di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa machtsvorming adalah proses mengakumulasi kekuatan. Karena itu, bisa disimpulkan, machtsvorming adalah proses yang panjang dan dialektis.

Dalam tulisan “Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung Karno menjelaskan, machtsvorming bukan hanya penyusunan wadah tenaga saja, tetapi juga penyusunan tenaga semangat, tenaga kemauan, tenaga roh, dan tenaga nyawa.

Artinya, harus ada proses yang dialektik antara proses memimpin perjuangan rakyat sehari-hari, pengorganisasian dan pewadahan massa, dan proses penyadaran massa. Dialektika hal itulah yang—secara simultan—akan melahirkan massa aksi.

Bagaimana membangun macthsvorming itu?

Pertama, pergerakan yang mengusung machtsvorming harus terlibat dan memimpin perjuangan rakyat sehari-hari—kaum marxis menyebutnya perjuangan ekonomis, seperti perjuangan menuntut kenaikan upah, menurunkan pajak, menghapus kerja rodi, dan lain-lain.
Bagi Bung Karno, dengan terlibat dalam “perjuangan kecil” sehari-hari itu, kaum pergerakan punya kesempatan berhubungan langsung dengan massa luas, menyuluhi atau mengagitasi mereka, dan mengorganisasikannya dalam wadah-wadah perjuangan.

Selain itu, Bung Karno beranggapan, perjuangan sehari-hari adalah suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga menuju perjuangan yang lebih besar.

Kedua, kaum pergerakan harus terlibat memanfaatkan segala ruang yang menyediakan kesempatan untuk mengorganisasikan massa. Bung Karno tidak mengharamkan kaum pergerakan terlibat dalam pembangunan badan-badan ekonomi dan sosial, seperti pembangunan koperasi, warung, rumah anak yatim piatu, dan lain-lain.

Ketiga, melakukan propaganda seluas-luasnya melalui famplet, majalah, koran, risalah-risalah (buku-buku), dan lain-lain. Propaganda seluas-luasnya juga bisa diciptakan ruangnya melalui rapat-rapat akbar (vergadering), pertemuan-pertemuan massa, kursus-kursus politik, dan lain-lain.

“Bekerjalah dengan penamu, dengan mulutmu, dengan gurungmu, dengan lidahmu! Ya, di dalam massa aksi ada faedahnya juga bergembar-gembor! Gemborkanlah juga gurungmu sampai suaramu memenuhi alam, gerakkanlah penamu sampai ujungnya menyala-nyala,” kata Bung Karno.

Keempat, pergerakan machtsvorming harus terus menyuluhi atau memajukan kesadaran massa. Hal ini dilakukan melalui kursus-kursus, pendidikan politik, brosur-brosur, majalah partai, dan lain-lain.

“Massa aksi zonder (tanpa) teori perjuangan, zonder kursus-kursus, zonder brosur-brosur dan surat-kabar, adalah massa aksi yang tidak hidup dan tak bernyawa, yang karenanya tak mempunya kemauan. Padahal, kemauan inilah yang bisa menjadi motor tenaga massa aksi,” kata Bung Karno.

Pendek kata, machtvorming bisa dimaknai sebagai pembangunan blok sosial-politik anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Dan, seperti ditegaskan Bung Karno, pembangunan blok sosial-politik ini tidak mungkin tanpa sebuah alat politik, yang bertugas menyatukan kehendak kaum tertindas dalam sebuah proyek politik bersama.

Timur Subangunkontributor Berdikari Online


Tidak ada komentar:

Posting Komentar