Oleh
: Sukma Dewi Djakse **
I.
PENGANTAR
Seks dan gender sebagai dua perspektif yang berbeda
,memiliki konteks persoalan yang juga berbeda . namun dalam banyak perdebatan,
seringkali dua hal ini tidak terpisahkan . kekeliruan tekstual yang berlangsung
lama, telah mengaburkan makna seks sebgai pembagian tugasdan fungsi perempuan
dan laki – laki berdasarkan biologis , dengan makna gender sebagi pembagian
peran sosila politik yang di letakkan kepada pundak perempuan dan laki –
laki berdasarkan struktur social masyrakat setempat.
Dikotomi peran dan fungsi perempuan dan laki – laki
dalam masyarakat dan keluargas , telah melanggengkan proses diskriminasi
terhadap perempuan. Sebab masyarakat yang masih hidup dengan nilai – nilai
patriakhi , memiliki kecenderungan untuk mensubbordinatkan perempaun dalam
berbagai ruang , baik runag public maupun domestic. Secara social da politik ,
permasalah seks dan gender telah menciptakan relasi yang tidak setara dan
bahkan eksploitatif.
Oleh karena itu ,,berbicara seksdan gender menjadi
tetap bila dikaitkan dengan sissstem perpolitikan di Indonesia . Bagaimana
system politik telah mengadopsi dan juga saling mengauatkan proses
ketidakadilan terhadapa perempuan berdasarkan nilai – nilai social – budaya
yang disahkan melalaui produk politik dan hokum. Indonwesiakan paska reformasi
98 menjadi tahapan yang pas untuk mengupas wajah masyrakat dan politik kita . Apakah
reformasi 98 telah menghantarkan sebuah relasi yang berkeadilan terhadap
seluruh warga Negara tanpa membedakan jenis kelaminnnya?.
II.
POLITIK PATRIAKHI YANG MASIH BERTAHAN PASCA REFORMASI
Perubahan politik pasca Reformasi , seharusnya
merupakan angin segar bagi kehidupan perempaun . Cita – cita reformasi tidak
terpisah dari cita – cita kaum perempuan untuk hidup lebih baik dalam berbagai
aspek , social maupun politik . namun dalam rentangan waktu yang cukup panjang,
persoalan perempuan yang ditinggalakan oleh rezim Orba terus saja menggelayuti
wajah masyrakat dan pemerintah, bahkan pada beberap hal , prduk hokum politik
pasca Reformasi justru semakin memarginalkan perempuan.
Otonomi daerah yang semestinya menjadi tonggak bgi
kemandirian daerah untuk berbebah dan berkarya bagi kemakmuran warganya, justru
dimaknai sebagai gerbang bagi peminggiran perempuan . berbagai daerah telah
memberlakukan syariat agama yang menjadikan perempuan dengan segala hal yang
melekat pada dirinya , sebagai sasaran. Bahkan pada banyak kasus , korban
pelecehan seksual justru dikriminalkan. Kasus guru yang di tangkap sepulang
kerja di tngerang beberapa waktu lalau , begitu juga dengan UU pornografi
merupakan gambarn bagaimana produk politik hokum telah menjadikan perempuan
criminal.
Walaupun , tidak dinafikan bahwa pada pemerinatahb
Megawati Sukarnoputri ada ipaya pembaruan melalaui Uu PKRT ( perlindungan dari
kekerasan Rumah TAngga ) upaya ini, sayangnya tidak dimaknai dan tidak
dipraktekan secara struktur oleh jajaran birokrasi dan elit politik lainnya,
sehingga produk yang berdemoktratis ini belum memberikan hasil yang signifikan
bagi kesetaraan gender.
II.
MENUJU INDONESIA BERKEADILAN GENDER
Cita – cita proklamasi 1945 sesungguhnya telah
menjadirambu awal bagi terwujudkan kehidupan social politik yang berkeadilam
geder . karena sebagai warga Negara perempaun menjadi bagian yang
terintergralkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara . pada pendiri
bangsa tentu saja memahami dan mliki visi yang jauh ke depan dalam meletakkan
dasar kehidupan masyarakat termasuk bagaimana menjamin hak politik perempuan
dalam pasal – pasal UUD 1945 tidak satupun pasal yang meminggirkan perempuan .
namun sekali lagi. Kekuasaan tidak demokratis , korup dan tunduk pada kekuatan
modal dengan segala instrumenya seringkali mengabaikan dan berkepentingan
terhadap terhadap pemikiran perempuan sewbgai bagian dalam status quo.
Indonesia saat ini tentu saja harus diarahkan pada
perjalanan yang berbasiskan ideology bangsa sehingga seluruh warganegara
memilliki jaminan atas keadilan dan perlindungan . persoalan seks dan gender
bukan dipakai dalam rangka mempertahankan ketidakadilan. Sebaliknya justru
menjadi awal dari perdebatan dan pendidikan yang dapat mencerahkan seluruh
unsure masyarakat.
*. Tulisan disampaikan dalam diskusi GMNI tgl 4
september 2009 di graha kuningan Jakarta.
* * anggota DPR RI fraksi PDI Perjuangan. Wakil
bendahara DPP PDI Perjuangan . ketua umum Srikandi Demokrasi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar