Bukan suatu hal yang kebetulan bila
dasawarsa terakhir ini kehidupan mahasiswa menjadi “sepi”. Banyak argumentasi
bisa dikedepankan untuk mengomentari keadaan. Berbagai pendapat bisa hadir tanpa
sinisme. Namun semuanya yang mencuat, masih tetap belum dapat menepis
keprihatinan masyarakat. Boleh jadi timbul pemikiran : sepi atau hingar bingar,
hanyalah masalah ukuran yang berbeda. Semua orang mempunyai hak untuk
berpendapat. Tapi satu hal jangan dilupakan, bahwa semua mahasiswa Indonesia
mempunyai beban sejarah yang tidak ringan. Manakala persoalan ini dikembalikan
pada mahasiswa, mungkin ada kearifan tersembunyi yang bisa muncul. Sungguh
tidak seperti yang kita bayangkan. Mahasiswa dan dunianya cukup tajam
bersimpangan jalan dengan harapan. Hal ini tergambar pada “kebingungan” yang
dimiliki mahasiswa. Quo Vadis mahasiswa???. Satu pertanyaan klise ini menyimpan
jawaban yang tak pernah selesai. Manusia memang sok tahu!. Tapi mahasiswa yang
penuh bangga diri ini akan beku tanpa ekspresi ketika berhadapan dengan
pertanyaan tersebut. Kalau toh ada jawaban, maka yang terucapkan tidak pernah
tampak bening. Bahkan tak jarang malah menjadi kusut, kekusutan tersebut tidak
perlu di-setrika terlampau keras, sebab kata akhirnya akan berpulang pada
kebingungan mahasiswa itu sendiri. Inikah keterasingan???, barangkali!.
Kelompok studi mahasiswa yang tumbuh
menjamur, memandang mahasiswa yang hanya mengejar prestasi akademis dan
berhura-hura adalah manusia setengah setan. Sementara mahasiswa aktivis LSM
melihat sinis kelompok studi mahasiswa, hanya sebagai kumpulan manusia yang
suka bercuap-cuap teoritis. Kemudian yang lain demikian juga. Daftar sinisme
ini bisa diperpanjang lagi dengan segala ragam aktivitas kemahasiswaan beserta
pengelompokannya. Aktivitas SEMA/BPM, Pramuka, Menwa, Himpunan Mahasiswa
Jurusan, Organisasi Ekstra Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa asal daerah dsb.
Menghadapi kebingungan itu adalah tidak salah bila seorang memilih harus aktip
di organisasi ekstra mahasiswa, daripada melarikan diri menjadi apatis. Memilih
aktip di organisasi ekstra mahasiswa, khususnya kelompok Cipayung (HMI, GMNI,
PMKRI, GMKI, PMII), adalah pilihan bijaksana seorang mahasiswa yang memahami
kediriannya. Mengatakan demikian alasannya tidak mungkin cukup dipahami,
kecuali aktip sendiri bergumul dengan organisasi ekstra mahasiswa yang
dipilihnya. Mengapa demikian?. Itulah kearifan yang tersimpan dalam organisasi
ekstra mahasiswa!!!.
Salah satu organisasi ekstra
mahasiswa yang tidak jarang disalah artikan adalah Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI). Apa dan bagaimana GMNI itu?, merupakan pertanyaan dasar yang
sering dibingungkan jawabannya dengan publik opini yang kurang sehat. Ada yang
mengatakan GMNI adalah PDI. Bahkan ada yang gegabah (untuk tidak mengatakan
jahat) mengatakan seenak perutnya bahwa GMNI adalah PKI. Atas ketidakjelasan
itulah, kita akan lebih arif sebagai manusia, bila lebih dulu sudi menelusuri
GMNI sebagai organisasi perjuangan. Tentu saja penelusuran itu dimaksudkan,
agar kita mengetahui dan tidak ikut membuat dosa dalam menyalah artikan apa dan
bagaimana GMNI!. GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat Independent
dan berwatak kerakyatan, hadir ber-kiprah didalam masyarakat sebagai anak jaman
yang menyatu dengan gelora revolusi perjuangan Bangsa. Maka itu menelusuri
perjalanan GMNI, mengharuskan kita dengan sabar memungut fakta-fakta sejarah
yang tercecer, untuk kemudian dirangkai dalam satu vas permasalahan yang
menampilkan kemudahan dalam pengamatan. Apakah dengan demikian kita akan
menyelenggarakan rekonstruksi sejarah secara utuh?, tentu saja tidak!. Sebab
berpretensi mencari kejelasan dalam rekonstruksi sejarah secara utuh, sama
halnya ingin mengecat langit. Pernyataan diatas menyimpan asumsi yang tidak
terucapkan, bahwa sejarah adalah suatu kompleksitas peristiwa yang terurai
dalam ruang dan waktu secara kausalitas – dialektis. Jadi sejarah bukanlah
hanya deretan tanggal-tanggal peristiwa, melainkan berbagai peristiwa yang
bergayutan dan terangkai sebagai sebuah produk dari situasi dan kondisi
tertentu. Maka itu melintasi sejarah sesuatu, berarti menelusurinya dalam
gerak, sebab setiap sejarah adalah dinamis. Demikian pula dalam kita menelusuri
sejarah GMNI, tidaklah mungkin kalau hanya berkubang dalam kemandekannya.
-
GMNI SEBAGAI ANAK JAMAN
Perjalanan panjang perjuangan bangsa
Indonesia melawan kapitalisme-imperialisme, belum pernah mencapai garis akhir.
Memang Proklamasi Kemerdekaan sudah diikrarkan sebagai tonggak sejarah
berdirinya Negara Indonesia. Akan tetapi dengan Proklamasi itu, bukan berarti
perjuangan lantas selesai. Walaupun Proklamasi sudah mengaung, tapi perjalanan
Bangsa kita masih panjang. Sungguh tak pernah akan kita sesalkan, bahwa untuk
menuju masyarakat demokrasi-egalitarian tampaknya memang merupakan pekerjaan
yang tidak mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang harus kita hadapi. Dari
menyimak sejarah kita mengetahui bagaimana kolonialis Belanda tetap gigih ingin
mencengkeram tanah air kita. Dalam sejarah pula, bagaimana persatuan dan
kesatuan Bangsa kita harus dirobek-robek. Sekitar Proklamasi, kesadaran
Indonesia sebagai suatu Bangsa belumlah menjadi darah-daging manusia Indonesia,
bahkan mungkin sampai sekarang. Sesungguhpun pada setiap kesempatan tokoh-tokoh
pejuang pemikir kita, tidak pernah lelah menanamkan arti pentingnya persatuan
dan kesatuan Bangsa. Tercatat dalam sejarah hitam Bangsa kita, bagaimana
gerakan-gerakan separatis timbul sebagai setan-setan penuh nafsu kekuasaan.
Dengan mengabdi pada kepentingan negara-negara imperialis, gerakan separatis
yang mementingkan golongannya sendiri itu, buka tidak sedikit menyumbangkan
pada kemunduran perjuangan Bangsa. Tahun 1948 PKI menikam dari belakang ketika
kekuatan Bangsa kita semakin terjepit. Tak ketinggalan dikalangan tentara
saling berebut posisi. Dari kalangan Islam bertekat baja ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam. Dikalangan komunis ingin menjadikan Indonesia
sebagai negara komunis. Mereka yang menamakan sosialis-demokrat (baca: PSI)
ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal. Tan Malaka si Agen Komintern
untuk Asia Timur Jauh mengejar ajal dalam gerilya, demi cita-cita komunis
nasionalnya. Begitulah Bangsa kita mengisi kemerdekaan, compang-camping berebut
kekuasaan atas nama rakyat.
Ditengah hingar-bingar sistem
politik yang bersifat kapitalisme (baca : demokrasi parlementer) sebagai hasil
kerja manusia Indonesia yang sudah dibaratkan, tumbuh menjamur partai-partai
politik di Indonesia. Sementara rakyat Indonesia masih tetap setia dengan
kemiskinannya, tanah air tercinta masih di-eksploitir oleh kekuatan-kekuatan
imperialis, partai-partai politik yang begitu banyak, mengatasnamakan rakyat
saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Tidak ketinggalan pula kalangan
tentara mencari peluang untuk mendesakkan berbagai kepentingannya. Dalam
suasana semacam itu, organisasi mahasiswa dengan ideologi dan kepentingan
masing-masing tumbuh mekar menyemarakkan suasana. Entah kapan mulai berdirinya,
tercatat dalam sejarah ada organisasi mahasiswa yang bernama Gerakan Mahasiswa
Demokrat Indonesia, ada yang bernama Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan ada pula
yang bernama Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia
ada di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka ada di Yogyakarta, dan Gerakan
Mahasiswa Marhaenis ada di Surabaya. Secara kebetulan ketiga organisasi
tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni masyarakat sosialis Indonesia yang
adil dan makmur.
Sadar akan keadaan masyarakat
dan Bangsa Indonesia yang memprihatinkan, maka organisasi-organisasi mahasiswa
yang mulai mekar itu, terus bergerak melanjutkan tugas sejarah memerdekakan
rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya. Atas kesadaran sebagai anak
jamannya yang harus menunaikan tugas sejarah, ketiga organisasi yang memiliki
tujuan yang sama tersebut, bertekat untuk mengadakan fusi. Dengan diprakarsai
oleh pimpinan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, sekitar bulan September
tahun 1953, diundang berkumpul di Jakarta para pemimpin organisasi Gerakan
Mahasiswa Merdeka dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Dalam pertemuan yang
bersejarah itu mereka bersepakat untuk mengadakan fusi menjadi satu organisasi
perjuangan.
Sebagai hasil pertemuan di bulan
September tahun 1953, maka di Surabaya pada tanggal 23 s/d 26 Maret 1954
diadakan Kongres ke-I. Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa organisasi yang
telah difusikan tersebut diberi nama dengan “Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia”. Untuk kemudian tanggal 23 Maret sebagai hari permulaan kongres
untuk menggunakan Marhaenisme sebagai azas organisasi, ternyata yang lain
bersepakat ada tiga cabang yang di pengaruhi cabang Yogyakarta menolak
azas tersebut. Forum menjadi panas dan untuk kemudian di skorsing. Dalam
istirahat timbul pikiran, kenapa persoalan azas ini menjadi tegang kembali,
padahal Bung Karno sudah menjelaskan dulu ketika pertemuan untuk fusi pada
bulan September tahun 1953. Dengan penyelidikan yang cukup cermat dan lihai,
ternyata dapat terungkap bahwa cabang Yogyakarta yang diwakili Jarmanto dan
Slamet rupanya punya maksud tersendiri. Konon Slamet ini adalah Wartawan Harian
Pedoman yang diselundupkan oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam
tubuh GMNI untuk membelokkan arah tujuan. Hal tersebut dimungkin, karena partai
politik pada waktu itu diharuskan memiliki anak partai yang berada disemua lapisan
masyarakat, disamping juga persiapan langkah dalam mneyongsong pemilihan umum
yang pertama tahun 1955. Secara ideologis, tentu saja bersikeras untuk menolak
Marhaenisme sebagai azas organisasi, agar nantinya GMNI dapat diwarnai oleh
ideologi PSI yang berazas Marxis-Engels. Jadi tampak sekali bahwa GMNI semenjak
lahirnya sudah kesusupan orang yang mempunyai lain tujuan. Sementara cabang
Yogyakarta memungkinkan untuk disusupi karena kecenderungan cabang disana yang
relatif kurang comited terhadap ideologi, kecuali selalu dengan teori-teori
steril dan nama-nama populer seorang cendikiawan. Namun demikian dengan penuh
semangat kebersamaan, kongres mencapai kata putus bahwa azas GMNI adalah
MARHAENISME.
Dalam kongres itupula dibahas
bagaimana hubungan organisasi GMNI dengan PNI. Apakah GMNI akan menjadi
onderbow PNI ataukah secara organisatoris lepas dengan PNI?. Masalah ini cukup
penting untuk dibahas justru karena kondisi politik masa itu, sebagai
konsekuensi liberalisme politik di Indonesia. Demokrasi parlementer menciptakan
situasi yang cukup kondusif bagi pelebaran sayap dan intervensi partai kesemua
lapisan masyarakat, tidak terkecuali kehidupan mahasiswa. Disamping karena ada
kesamaan azas antara PNI dan GMNI, secara politis terselenggaranya fusi dan
Kongres ke-I GMNI sedikit banyak ada kerjasamanya dengan oknum-oknum PNI. Oleh
karenanya cukup wajar bila kongres tersebut menyinggung bagaimana hubungan
organisatoris PNI dan GMNI. Atas kesadaran yang tinggi dan kejernihan berpikir
para peserta kongres akhirnya diputuskan dalam rapat pleno bahwa GMNI
Independent. Tentu saja keputusan ini mengundang reaksi pihak PNI yang banyak
berkepentingan terhadap keputusan kongres GMNI, yang menyatakan secara
eksplisit keterkaitan langsung secara organisatoris terhadap PNI. Oleh karena
keputusan menjadi lain sebagaimana yang diharapkan, konon bantuan dana dari DPP
PNI untuk biaya kongres tidak jadi dicairkan, kecuali biaya yang sudah
dikeluarkan untuk operasional kegiatan teknis.
SIFAT DAN WATAK GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Setiap organisasi memiliki ciri chas
dan wataknya sendiri, demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan. Sifat
dan watak GMNI sebagai organisasi perjuangan tercermin pada nama dan azas
organisasinya, yakni Nasionalistik dan berwatak kerakyatan.
GMNI sebagai organisasi perjuangan
mewajibkan para angota-anggotanya untuk senantiasa dinamis dalam berfikir dan
bertindak. Dinamisme sebagai prinsip perjuangan bukanlah sekedar kata kosong
yang tidak punya makna. Akan tetapi pengertian tersebut sebagai ruang hidupnya
organisasi, secara hakiki mempunyai sifat yang tetap yaitu bergerak. Semua
masyarakat di dunia ini bergerak, berubah dan berkembang. Penyatuan dengan
sifat masyarakat itulah maka GMNI menggunakan nama Gerakan Konsisten dengan
nama itulah maka sudah merupakan keharusan bagi anggota GMNI untuk senantiasa
bergerak, baik pikiran maupun tindakan. Maka itu, terpukau pada kejayaan masa
lalu dan tenggelam pada kekinian pada dasarnya merupakan sikap yang tidak benar
bagi anggota GMNI, sebab sikap semacam itu merupakan sikap yang tidak dinamis
atau mandeg.
Manusia adalah mahluk sosial atau
zoon politicon kata Aristoteles. Sebagai mahluk sosial manusia mempunyai
kecenderungan untuk hidup mengelompok dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam
kecenderungannya itu, manusia membentuk organisasi sebagai wadah berkelompok
dan berkerja-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Oleh karena itulah
banyak ragam organisasi dimasyarakat, sebanyak kepentingan manusia. Mulai dari
pelacur samapi direktur hampir memiliki organisasi. Ketika manusia mencapai
kesadaran agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri, maka muncullah
organisasi-organisasi perjuangan untuk menunaikan tugas sejarah dan tugas
kemanusiaan. Artinya organisasi itu berdiri bukan dimaksudkan untuk hanya
mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan anggota-anggotanya, melainkan
untuk menunaikan perintah Illahi. Sehingga diwajibkan bagi anggota organisasi
tersebut, motivasinya untuk bergabung sebagai saudara perjuangan haruslah
didasari karena panggilan suci, bukan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi.
Demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan, mengingat dikalangan
mahasiswa masih ada juga yang sadar akan panggilan suci itu, maka GMNI
memberanikan diri untuk mengorganisirnya dalam satu wadah perjuangan. Maka itu
pengertian mahasiswa dalam nama GMNI maupun sebagai syarat keanggotaannya
adalah tidak sekedar kategori mereka yang menempuh pendidikan di perguruan
tinggi dan sadar akan tugas sejarah dan kemanusiaanya, sebagaimana diperintahkan
Ilahi.
Kata nasional dalam GMNI menunjuk
sifat hakiki dalam organisasi. Pengertian nasional kecuali sebagai ruang
lingkup kegiatan, secara idiologis ia menunjukkan faham yang menjadi identitas
GMNI. GMNI sebagai organisasi perjuangan sejak semula menyadari heterogenitas
masyarakat Indonesia. Sungguhpun faham kebangsaan sudah disosialisasikan
semenjak jaman kebangkitan nasional dulu, sampai kini masih tampak dalam
masyarakat kita ikatan-ikatan primordial yang terus melembaga. Kenyataan ini
tidak terkecuali pada kehidupan mahasiswa yang semestinya sudah bisa berfikir.
Ikatan ke-daerahan, ke-sukuan, ke-Agamaan, status sosial dan sebagainya itu,
pada dasarnya menyimpan bahaya bagi persatuan dan kesatuan Nasional. Maka itu
GMNI tetap mempunyai tekad untuk melawannya secara kritis. Sebagai
pengejawantahan dari pandangan ini GMNI tidak membatasi diri pada
keanggotaannya atas dasar ikatan primordial tersebut!. Siapapun mahasiswa
Indonesia diperkenankan masuk GMNI. Apapun Agamanya, kesukuannya dan dari mana
asal daerahnya, asal mereka itu mahasiswa Indonesia yang terpanggil untuk
berjuang menunaikan tugas sejarah akan diberi peluang untuk menjadi anggota
GMNI. Oleh karena itu adalah sikap penyelewengan idiologis bila anggota GMNI
masih memandang masalah itu dari kacamata primordialisme, sedangkan kata
Indonesia dalam GMNI adalah penegasan dari kata Nasional yang bermakna
kultural-politis.
Sebagaimana telah diputuskan dalam
Kongresnya yang pertama, GMNI adalah organisasi mahasiswa yang berazaskan
Marhaenisme, suatu karya fikir yang sangat cemerlang dari Bung Karno dalam
rangka menyatukan Bangsa Indonesia dan sekaligus sistem nilai yang menjadi
pedoman aksi dalam melawan Kolonialisme dan Kapitalisme. Penggunaan Marhaenisme
sebagai azas GMNI tidaklah karena faham tersebut merupakan karya Bung Karno
sebagai orang besar, melainkan karena GMNI memahami kaitan kondisi obyektip
masyarakat Indonesia dengan substansi dari Marhaenisme itu sendiri. Marhaenisme
sebagai azas perjuangan substansinya terdiri dari Sosio-Nasionalisme dan
Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme merupakan pandangan kebangsaan yang
berprikemanusiaan dan Sosio-Demokrasi adalah faham yang menghendaki tidak
hanya demokrasi dalam arti politik, akan tetapi juga Demokrasi dalam dimensi
ekonomi, atau yang disebut dengan Demokrasi Sosial. Komitmen ideologi yang
demikian itulah mengharuskan GMNI senantiasa berorientasi pada rakyat, dan
bersama-sama rakyat mengadakan perbaikan-perbaikan secara kritis dan dinamis.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari pemahaman substansial komitmen
perjuangan yang diabstraksikan dari akar kehidupan dan aspirasi rakyat yang
tertindas.
Idealisme yang mewarnai GMNI sebagai
organisasi perjuangan bukanlah mitos yang turun dari langit begitu saja, akan
tetapi merupakan kristalisasi pemikiran dan tindakan yang berkesadaran penuh
sebagai manusia yang meng-ada bersama dunia. Oleh karena itulah wawasan
kebangsaan yang utuh dan keprihatinan serta keterlibatan terhadap masalah yang
dihadapi oleh rakyat secara kongkret merupakan identitas penting anggota GMNI.
Dengan kata lain pengertian diatas mengandung makna sifat dan watak yang
Nasionalistik dan Berkerakyatan.
GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Sejak berdirinya GMNI sebagai
organisasi tidaklah semata-mata merupakan wadah untuk berkelompok, bagi orang
yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Berdirinya GMNI sebagai
organisasi tidak terlepas dari idealisme yang mendasarinya. Idealisme GMNI
berada didalam keprihatinan anak jaman terhadap masyarakatnya dan sistem nilai
yang terangkum didalam azas perjuangannya. Idealisme GMNI berorientasi
kerakyatan dan bertujuan mencapai masyrakat tanpa penghisapan manusia atas
manusia. Idealisme tersebut menjadikan GMNI sebagai organisasi bukanlah sekedar
interest group, melainkan GMNI adalah organisasi perjuangan. Maksudnya bahwa
GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independent dan berwatak
kerakyatan, tidak semata-mata sebagai wadah untuk mengartikulasikan kepentingan
anggota-anggotanya, bukan sekedar sebagai saluran politik untuk mobilitas vertikal
masuk supra struktur politik, melainkan wadah bagi mahasiswa-mahasiswa yang
memiliki idealisme dan sadar akan tugas kemanusiaannya. Oleh karenanya bagi
seseorang memiliki minat untuk memasuki GMNI, sejak dini harus menyadari bahwa
aktip di GMNI merupakan pilihan untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam mendinamisasikan tenaga-tenaga pembangun bagi perwujudan cita-cita
proklamasi, diperlukan adanya organisasi yang siap dan tanggap dalam menyiasati
keadaan. Fungsi yang demikian itu mengasumsikan adanya komitmen perjuangan yang
berorientasi kerakyatan. Oleh karena sejak semula GMNI menyadari akan
kediriannya dan keadaan masyarakatnya, maka secara fungsional GMNI menyediakan
diri sebagai alat. Jadi secara fungsional GMNI sebagai organisasi merupakan
alat yang dipergunakan untuk melahirkan kader-kader Bangsa dan juga sebagai
wahana untuk mendinamisasikan kader-kader Bangsa dalam menunaikan tugas sejarah
dan kemanusiaannya untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Dalam kehidupan kongkret manusia
lahir tidak dilengkapi dengan instrumen yang siap pakai kecuali potensi
manusiawinya, karena hakekat manusia memang mahluk belum selesai. Keadaan yang
demikian mengharuskan manusia untuk bekejasama dengan yang lainnya. Kerjasama
manusia menjadi terwujud disebabkan karena adanya hubungan saling memberi.
Salah satu bentuk hubungan saling memberi adalah manusia saling mendidik.
Sehingga manusia mampu mencapai tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman dan
keterampilan yang melampaui keadaan semula sebagai pengejawantahan aktualisasi
potensi manusiawinya. Proses ini menjadi penting karena manusia semakin
meningkat harkat kemanusiaannya. Proses tersebut dimungkinkan karena adanya
situasi yang kondusif, sehingga potensi manusiawinya mendapat ruang gerak yang
cukup untuk diaktualisasikan, untuk kemudian manusia menjadi eksis. Demikian
juga GMNI sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Kader bukanlah manusia bentukan
yang dipola dengan desain tertentu, melainkan kader adalah manusia yang
“menjadi” karena mampu mengaktualisasikan potensi dirinya. GMNI sebagai alat
pendidikan kader mempunyai tugas menciptakan situasi kondusif agar
anggota-anggotanya dapat memasuki proses menjadi dalam rangka eksistensi
dirinya sebagai bingkai perjuangan Bangsa. Melalui proses menjadi inilah
seluruh anggota GMNI diharuskan memantapkan pendefenisian dirinya sebagai
kader. Oleh karena keanggotaan GMNI terbatasi oleh waktu sesuai dengan status
kemahasiswaannya, maka tidak mungkin seseorang untuk terus menjadi anggota
aktip. Kenyataan tersebut menjadi dasar juga kenapa GMNI menyediakan diri
sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Bagi mereka yang cukup berhasil
mendefenisikan dirinya sebagai kader tidak mungkin memonopoli hanya harus
mengabdi pada GMNI. Untuk itulah kader-kader GMNI diberi kebebasan memilih
setelah lepas menjadi anggota aktif. Maka itu GMNI tidak terikat pada partai
politik apapun. Anggota-anggota GMNI sebagai kader hanya terikat pada
kepentingan rakyat dan Bangsa Indonesia. Dalam makna itulah GMNI menyediakan
diri sebagai alat pendidikan kader Bangsa.
Sebagai alat pendidikan kader Bangsa
GMNI bertugas mendidik anggota-anggotanya dalam konteks kejuangan agar
senantiasa comited pada kepentingan rakyat dan Bangsa. Melalui pendidikan
tersebut diharapkan lahir pemuda-pemuda yang berkepribadian kokoh, tanggap pada
situasi dan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan
masyarakat. Dengan demikian anggota-anggota GMNI sebagai kader Bangsa dapat
memberikan sumbangsihnya pada pembangunan Bangsa. Oleh karenanya kader GMNI
bukanlah milik dari segolongan masyarakat saja. Kader GMNI merupakan bagian
integral dari potensi Bangsa yang terus berjuang melaksanakan amanat
penderitaan rakyat. Maka tidak benar jika ada ungkapan bahwa kader GMNI adalah
kader PDI. Bagi GMNI pernyataan tersebut penting diungkapkan, karena ada
kecenderungan dalam masyarakat memandang GMNI sebagai anak dari PDI.
Berdampingan dengan GMNI sebagai
alat pendidikan kader Bangsa, GMNI sebagai organisasi adalah alat untuk
mencapai cita-cita proklamasi, yakni masyarakat Sosialis-Indonesia yang
berdasarkan Pancasila. Sebagai alat untuk mencapai cita-cita Proklamasi, GMNI
diharuskan ber-kiprah di tengah masyarakat dengan tanpa pamrih. Tugas
demikian tidak mungkin terselenggara apabila GMNI tidak memiliki idealisme yang
kuat dan tekat untuk merealisasikan idealisme tersebut. Ber-kiprah di tengah
masyarakat untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dan melawan ketidak-adilan,
bukanlah kerja manusia tanpa ideologi, maka itu dengan ideologi yang
diyakininya GMNI mendinamisir anggota-anggotanya didalam struktur organisasi
dan Anggaran Rumah Tangganya. Pengaturan tersebut merupakan upaya
mensistematiskan kegiatan kolektif dari potensi perjuangan agar lebih terarah
dan kokoh sebagai suatu kekuatan pemabaharu.
Memang tanpa organisasi seseorang
dapat mengabdikan dirinya pada cita-cita proklamasi, akan tetapi sudah menjadi
keyakinan dan hakekat manusia apabila kekuatan yang berpencar itu dijadikan
satu entitas perjuangan, maka sejarah sudah membuktikan aktivitas kolektif lebih
memiliki daya jangkau yang lebih jauh. Oleh karena GMNI sebagai organisasi
perjuangan senantiasa berupaya mensistematisir arah gerak anggota-anggotanya
selaras dengan keperluan Bangsa. Sesuai dengan tingkat perjuangan dan
perkembangan masyarakat.
Menegakkan GMNI sebagai organisasi
perjuangan, secara organisatoris dilakukan dengan membangun slagorde
organisasi, disamping dengan membina hubungan dengan kekuatan lain. Upaya
tersebut dilaksanakan dengan mensosialisasikan GMNI di tengah masyarakat,
merekrut anggota, mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah yang strategis
dan potensial. Setelah dua tahun GMNI menghirup udara perjuangan Bangsa,
kemudian pada tahun 1956 di Bandung mengadakan Kongresnya yang ke-II, dalam
Kongres tersebut banyak dibicarakan masalah konsolidasi organisasi.
Pelaksanaan konsolidasi organisasi
dalam tingkatannya yang kemudian, menjadikan GMNI sebagai bayi yang baru lahir
secara kuwantitatif membengkak, baik jumlah anggota maupun jumlah cabang yang
terbentuk. Pada tahun 1959 di kota Malang sekitar 100 cabang GMNI berkumpul
mengadakan Kongres yang ke-III. Semenjak itu dikarenakan kehidupan mahasiswa
dan kehidupan pergerakan, GMNI tidak bisa diabaikan. Kemudian pada tahun yang
sama di Kaliurang-Yogyakarta GMNI mengadakan konperensi besar. Dalam konperensi
tersebut hadir Bung Karno sebagai Presiden R.I. berkenan memberikan pengarahan
pada anggota-anggota GMNI. Dalam pengarahannya itu Bung Karno sebagai pencetus
Pancasila banyak menyinggung masalah-masalah dasar dari azas perjuangan. Disisi
lain konperensi besar telah menetapkan keputusan penting, antara lain :
- Ditetapkannya
perubahan lembaga kepemimpinan nasional dari DPP menjadi Presidium,
- Ditetapkannya
bahwa GMNI secara organisasi menjadi onderbow dari PNI.
GMNI DIUJI JAMAN
Memasuki dasawarsa 60-an GMNI
sebagai organisasi sudah menyebar keseluruh Indonesia, dengan waktu yang
relatif singkat, tidak lebih lima tahun dari awal terbentuknya GMNI sebagai
organisasi perjuangan sudah tidak bisa dipandang sepi kehadirannya.
Kehidupan kampus yang kemudian
banyak dikuasai dan diwarnai oleh mekarnya GMNI banyak mengundang kecemburuan.
Semenjak itu lembaga-lembaga juga di organisasi-organisasi ekstra kampus,
pewarnaan GMNI dalam kehidupan kemahasiswaan membuat pamornya menjadi naik.
Keadaan tersebut memberikan peluang pada GMNI untuk menggarap basis semakin
luas. Disetiap fakultas berdiri komisariat-komisariat yang memiliki cukup
banyak anggota yang riil. Animo mahasiswa untuk memasuki GMNI menjadi cukup
besar, bukan hanya karena popularitas GMNI melainkan juga karena
kemudahan-kemudahan yang dapat diperoleh dengan mengatasnamakan GMNI. Hal ini
dimungkinkan karena semenjak GMNI menjadi onderbow PNI dan hubungan GMNI dengan
Bung Karno yang tidak begitu jauh, telah memberikan peluang bagi pemanfaatan keadaan.
PNI sebagai organisasi besar dan memiliki banyak kekuasaan, tidak sedikit
memberikan pengaruh terhadap keadaan itu. Namun semenjak itu pula GMNI telah
menjadi anak manja yang kurang mawas diri. Sehingga GMNI pada masa itu
merupakan jaminan bagi masa depan, tetapi bukan jaminan bagi terbentuknya insan
pejuang yang berkarakter kerakyatan serta konsisten pada idealismenya.
Tahun 1962 di Yogyakarta GMNI
mengadakan Kongres yang ke-IV. Memasuki dasawarsa 60-an GMNI memang ditandai
dengan kejayaannya, tapi masa itu juga GMNI sebagai organisasi besar hanya
sedikit memiliki kader-kader pejuangnya. Hal tersebut dikarenakan banyak
mahasiswa memasuki GMNI bermotivasi prakmatis. Sementara organisasi yang
berazaskan kerakyatan itu terlampau sibuk dengan pengaturan-pengaturan kursi,
sehingga tidak banyak kesempatan untuk menggembleng dan menyaring
anggota-anggotanya sebagai kader yang berkepribadian. Akibatnya organisasi
mahasiswa yang tampak besar dari bajunya itu, hanya sedikit memiliki kekuatan.
Hal ini terbukti nanti ketika GMNI sedang menghadapi tekanan-tekanan politik,
kecuali beberapa kader yang memang konsisten pada perjuangannya, hampir
sebagian besar melarikan diri tanpa menyebut dirinya lagi sebagai GMNI.
Hubungan GMNI dan PNI yang begitu
dekat secara organisatoris dan politis, dan juga keterkaitannya dengan Bung
Karno sudah menjadi hubungan kesejarahan. Masing-masing memiliki ideologi yang
sama untuk diterapkan di Indonesia. Secara ideologis bila dibanding dengan PNI,
sebenarnya GMNI memiliki sedikit kelebihan terutama karena basis anggotanya,
dengan basis intelektual yang cukup kuat disamping semangat pemuda yang siap
tempur. Keadaan yang demikian menjadikan GMNI satu incaran utama dalam
perhitungan politik dari lawan-lawan politik Bung Karno dan PNI. Konon yang
banyak diperhitungkan oleh Aidit. CS dalam prospek percaturan politik Nasional
adalah kader-kader GMNI yang masih muda ketimbang pimpinan PNI sendiri. Bukan
tidak mungkin dalam suksesi kepemimpinan, Bung Karno tidak melirik kader-kader
GMNI. Ketika PNI sudah menjadi konservatif dalam percaturan ideologis
sebenarnya GMNI merupakan rival utama bagi PKI. Justru karena ideologi keduanya
masing-masing berorientasikan kerakyatan, tapi berbeda dalam filsafat dan
metode kerjanya, jadi dapat dikatakan bahwa GMNI versus PKI merupakan rivalitas
tanpa achir, sebab dimana ada GMNI kemudian muncul PKI, keduanya akan bertarung
sengit secara ideologis. Dengan gambaran tersebut, masikah kita percaya pada
pendapat orang bahwa GMNI berbahu PKI?!. Saya kira hanya ketololan manusia yang
akan mempercayainya.
Dasawarsa 60-an bagi GMNI merupakan
tahun-tahun yang menggetirkan. Keterkaitan GMNI dengan PNI mempunyai dampak
langsung terhadap keberadaannya. Masa itu secara politis PNI pecah dalam dua
kubu yang saling berhadapan. Secara populer itu ditandai dengan munculnya PNI
OSA-USEP dan PNI ASU. Keadaan ini tidak menguntungkan GMNI, sebab perpecahan
tersebut berakibat langsung pada persatuan dan kesatuan organisasi. Untuk
pertama kali, GMNI mengalami perpecahan organisasi secara Nasional. Keputusan
Kongres diinjak-injak secara akonstitusional. Presidium hasil Kongres yang
lebih sah memimpin organisasi disisihkan dengan dibentuknya Presidium lain atas
SK. DPP PNI. Dengan fenomena yang ada, banyak orang mengatakan GMNI masa itu terjadi
dua kubu yang terkait langsung dengan perpecahan di PNI. Sehingga timbul juga
istilah GMNI OSA-USEP dan GMNI ASU. Dalam kondisi organisasi yang tidak
menguntungkan itu situasi politik di Indonesia juga sedang keruh. Kudeta
berdarah berlangsung dalam gerak cepat pada tahun 1965, yang dilanjutkan dengan
gerakan pembersihan unsur “kiri”. Peta politik di Indonesia bergerak ke “kanan”
meruntuhkan singgasana Presiden Soekarno dan sekaligus PNI sebagai partai besar
masa itu. Celakanya keberadaan GMNI harus juga tersungkur dan tenggelam dalam
gelombang pasang-surut. Sejak itu GMNI kehilangan peran dan hidup dalam
kevakuman. Sekalipun pada tahun 1969 di Salatiga diadakan Kongres ke-V, namun
GMNI sebagai organisasi pudar eksistensinya hingga tahun 1976.
MASA KEBANGKITAN KEMBALI
Dalam kondisi yang cukup
memperihatinkan GMNI sebagai organisasi perjuangan mencoba bangkit kembali.
Dengan bekal semangat keberanian mengambil resiko, GMNI mulai mengumpulkan
sisa-sisa kekuatannya, sehingga pada tahun 1976 di Ragunan Jakarta
diselenggarakan Kongres ke-VI. Dalam Kongres tersebut pengalaman panjang
perjalanan GMNI di-evaluasi kembali. Sadar bahwa sikap tidak independent
merupakan salah satu faktor penting bagi kemunduran peran organisasi, maka
melalui Kongres ditetapkan “Independensi” mutlak harus ditegakkan.
Masa kebangkitan kembali GMNI lebih
ditekankan pada kegiatan konsolidasi organisasi di daerah yang potensial
bendera GMNI dicoba untuk berkibar. Secara Nasional slagorde organisasi ditata
sampai tingkat basis. Kesemuanya memang butuh waktu. Tetapi dengan bekal
semangat membara tanpa menyimpan rasa dendam, kader-kader GMNI mulai berkiprah
kembali. Sambil bergerak mengkosolidasi organisasi, GMNI membulatkan tekat
independisnya melalui Kongres ke-VII yang diselenggarakan pada tahun 1979 di
Medan. Independensi yang ditetapkan dalam Kongres tersebut mencakup
independensi dalam arti organisatoris, politis dan sosio-kultural.
Pemahaman GMNI terhadap ideologi
Pancasila sebagai produk historis dan manusiawi menuntut GMNI menggunakan
secara konsisten Pancasila sebagai azas perjuangan. Untuk itulah jauh hari
sebelum undang-undang keormasan ditetapkan oleh pemerintah, GMNI mengambil
inisiatip untuk menjadikan Pancasila sebagai azas organisasi. Pada Kongres
ke-VIII yang dilaksanakan pada tahun 1983 di Bandung sikap ini ditetapkan
secara organisatoris. Dengan bekal pemahaman ini, GMNI terus mencoba bangkit
dan bergerak menemukan kembali peran dan keberadaan dirinya. Kongres ke-IX
diadakan di Samarinda pada tahun 1986 dengan keputusan penting menetapkan
nilai-nilai dasar perjuangan dan sistem pendidikan kader. Keputusan ini menjadi
pedoman dasar bagi gerak perjuangan GMNI hingga mengantarkan memasuki Kongres
ke-X di Salatiga pada tahun 1989.
Demikian sepintas kilas perjalanan GMNI sebagai organisasi
dan selamat mempelajarinya dari dalam!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar