Sabtu, 02 Juni 2012

LINTASAN SEJARAH GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA PENDAHULUAN


Bukan suatu hal yang kebetulan bila dasawarsa terakhir ini kehidupan mahasiswa menjadi “sepi”. Banyak argumentasi bisa dikedepankan untuk mengomentari keadaan. Berbagai pendapat bisa hadir tanpa sinisme. Namun semuanya yang mencuat, masih tetap belum dapat menepis keprihatinan masyarakat. Boleh jadi timbul pemikiran : sepi atau hingar bingar, hanyalah masalah ukuran yang berbeda. Semua orang mempunyai hak untuk berpendapat. Tapi satu hal jangan dilupakan, bahwa semua mahasiswa Indonesia mempunyai beban sejarah yang tidak ringan. Manakala persoalan ini dikembalikan pada mahasiswa, mungkin ada kearifan tersembunyi yang bisa muncul. Sungguh tidak seperti yang kita bayangkan. Mahasiswa dan dunianya cukup tajam bersimpangan jalan dengan harapan. Hal ini tergambar pada “kebingungan” yang dimiliki mahasiswa. Quo Vadis mahasiswa???. Satu pertanyaan klise ini menyimpan jawaban yang tak pernah selesai. Manusia memang sok tahu!. Tapi mahasiswa yang penuh bangga diri ini akan beku tanpa ekspresi ketika berhadapan dengan pertanyaan tersebut. Kalau toh ada jawaban, maka yang terucapkan tidak pernah tampak bening. Bahkan tak jarang malah menjadi kusut, kekusutan tersebut tidak perlu di-setrika terlampau keras, sebab kata akhirnya akan berpulang pada kebingungan mahasiswa itu sendiri. Inikah keterasingan???, barangkali!.
Kelompok studi mahasiswa yang tumbuh menjamur, memandang mahasiswa yang hanya mengejar prestasi akademis dan berhura-hura adalah manusia setengah setan. Sementara mahasiswa aktivis LSM melihat sinis kelompok studi mahasiswa, hanya sebagai kumpulan manusia yang suka bercuap-cuap teoritis. Kemudian yang lain demikian juga. Daftar sinisme ini bisa diperpanjang lagi dengan segala ragam aktivitas kemahasiswaan beserta pengelompokannya. Aktivitas SEMA/BPM, Pramuka, Menwa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Organisasi Ekstra Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa asal daerah dsb. Menghadapi kebingungan itu adalah tidak salah bila seorang memilih harus aktip di organisasi ekstra mahasiswa, daripada melarikan diri menjadi apatis. Memilih aktip di organisasi ekstra mahasiswa, khususnya kelompok Cipayung (HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII), adalah pilihan bijaksana seorang mahasiswa yang memahami kediriannya. Mengatakan demikian alasannya tidak mungkin cukup dipahami, kecuali aktip sendiri bergumul dengan organisasi ekstra mahasiswa yang dipilihnya. Mengapa demikian?. Itulah kearifan yang tersimpan dalam organisasi ekstra mahasiswa!!!.
Salah satu organisasi ekstra mahasiswa yang tidak jarang disalah artikan adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Apa dan bagaimana GMNI itu?, merupakan pertanyaan dasar yang sering dibingungkan jawabannya dengan publik opini yang kurang sehat. Ada yang mengatakan GMNI adalah PDI. Bahkan ada yang gegabah (untuk tidak mengatakan jahat) mengatakan seenak perutnya bahwa GMNI adalah PKI. Atas ketidakjelasan itulah, kita akan lebih arif sebagai manusia, bila lebih dulu sudi menelusuri GMNI sebagai organisasi perjuangan. Tentu saja penelusuran itu dimaksudkan, agar kita mengetahui dan tidak ikut membuat dosa dalam menyalah artikan apa dan bagaimana GMNI!. GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat Independent dan berwatak kerakyatan, hadir ber-kiprah didalam masyarakat sebagai anak jaman yang menyatu dengan gelora revolusi perjuangan Bangsa. Maka itu menelusuri perjalanan GMNI, mengharuskan kita dengan sabar memungut fakta-fakta sejarah yang tercecer, untuk kemudian dirangkai dalam satu vas permasalahan yang menampilkan kemudahan dalam pengamatan. Apakah dengan demikian kita akan menyelenggarakan rekonstruksi sejarah secara utuh?, tentu saja tidak!. Sebab berpretensi mencari kejelasan dalam rekonstruksi sejarah secara utuh, sama halnya ingin mengecat langit. Pernyataan diatas menyimpan asumsi yang tidak terucapkan, bahwa sejarah adalah suatu kompleksitas peristiwa yang terurai dalam ruang dan waktu secara kausalitas – dialektis. Jadi sejarah bukanlah hanya deretan tanggal-tanggal peristiwa, melainkan berbagai peristiwa yang bergayutan dan terangkai sebagai sebuah produk dari situasi dan kondisi tertentu. Maka itu melintasi sejarah sesuatu, berarti menelusurinya dalam gerak, sebab setiap sejarah adalah dinamis. Demikian pula dalam kita menelusuri sejarah GMNI, tidaklah mungkin kalau hanya berkubang dalam kemandekannya.
-
GMNI SEBAGAI ANAK JAMAN
Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan kapitalisme-imperialisme, belum pernah mencapai garis akhir. Memang Proklamasi Kemerdekaan sudah diikrarkan sebagai tonggak sejarah berdirinya Negara Indonesia. Akan tetapi dengan Proklamasi itu, bukan berarti perjuangan lantas selesai. Walaupun Proklamasi sudah mengaung, tapi perjalanan Bangsa kita masih panjang. Sungguh tak pernah akan kita sesalkan, bahwa untuk menuju masyarakat demokrasi-egalitarian tampaknya memang merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang harus kita hadapi. Dari menyimak sejarah kita mengetahui bagaimana kolonialis Belanda tetap gigih ingin mencengkeram tanah air kita. Dalam sejarah pula, bagaimana persatuan dan kesatuan Bangsa kita harus dirobek-robek. Sekitar Proklamasi, kesadaran Indonesia sebagai suatu Bangsa belumlah menjadi darah-daging manusia Indonesia, bahkan mungkin sampai sekarang. Sesungguhpun pada setiap kesempatan tokoh-tokoh pejuang pemikir kita, tidak pernah lelah menanamkan arti pentingnya persatuan dan kesatuan Bangsa. Tercatat dalam sejarah hitam Bangsa kita, bagaimana gerakan-gerakan separatis timbul sebagai setan-setan penuh nafsu kekuasaan. Dengan mengabdi pada kepentingan negara-negara imperialis, gerakan separatis yang mementingkan golongannya sendiri itu, buka tidak sedikit menyumbangkan pada kemunduran perjuangan Bangsa. Tahun 1948 PKI menikam dari belakang ketika kekuatan Bangsa kita semakin terjepit. Tak ketinggalan dikalangan tentara saling berebut posisi. Dari kalangan Islam bertekat baja ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dikalangan komunis ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Mereka yang menamakan sosialis-demokrat (baca: PSI) ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal. Tan Malaka si Agen Komintern untuk Asia Timur Jauh mengejar ajal dalam gerilya, demi cita-cita komunis nasionalnya. Begitulah Bangsa kita mengisi kemerdekaan, compang-camping berebut kekuasaan atas nama rakyat.
Ditengah hingar-bingar sistem politik yang bersifat kapitalisme (baca : demokrasi parlementer) sebagai hasil kerja manusia Indonesia yang sudah dibaratkan, tumbuh menjamur partai-partai politik di Indonesia. Sementara rakyat Indonesia masih tetap setia dengan kemiskinannya, tanah air tercinta masih di-eksploitir oleh kekuatan-kekuatan imperialis, partai-partai politik yang begitu banyak, mengatasnamakan rakyat saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Tidak ketinggalan pula kalangan tentara mencari peluang untuk mendesakkan berbagai kepentingannya. Dalam suasana semacam itu, organisasi mahasiswa dengan ideologi dan kepentingan masing-masing tumbuh mekar menyemarakkan suasana. Entah kapan mulai berdirinya, tercatat dalam sejarah ada organisasi mahasiswa yang bernama Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, ada yang bernama Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan ada pula yang bernama Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia ada di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka ada di Yogyakarta, dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis ada di Surabaya. Secara kebetulan ketiga organisasi tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Sadar akan  keadaan masyarakat dan Bangsa Indonesia yang memprihatinkan, maka organisasi-organisasi mahasiswa yang mulai mekar itu, terus bergerak melanjutkan tugas sejarah memerdekakan rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya. Atas kesadaran sebagai anak jamannya yang harus menunaikan tugas sejarah, ketiga organisasi yang memiliki tujuan yang sama tersebut, bertekat untuk mengadakan fusi. Dengan diprakarsai oleh pimpinan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, sekitar bulan September tahun 1953, diundang berkumpul di Jakarta para pemimpin organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Dalam pertemuan yang bersejarah itu mereka bersepakat untuk mengadakan fusi menjadi satu organisasi perjuangan.
Sebagai hasil pertemuan di bulan September tahun 1953, maka di Surabaya pada tanggal 23 s/d 26 Maret 1954 diadakan Kongres ke-I. Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa organisasi yang telah difusikan tersebut diberi nama dengan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”. Untuk kemudian tanggal 23 Maret sebagai hari permulaan kongres untuk menggunakan Marhaenisme sebagai azas organisasi, ternyata yang lain bersepakat ada tiga cabang yang di pengaruhi cabang  Yogyakarta menolak azas tersebut. Forum menjadi panas dan untuk kemudian di skorsing. Dalam istirahat timbul pikiran, kenapa persoalan azas ini menjadi tegang kembali, padahal Bung Karno sudah menjelaskan dulu ketika pertemuan untuk fusi pada bulan September tahun 1953. Dengan penyelidikan yang cukup cermat dan lihai, ternyata dapat terungkap bahwa cabang Yogyakarta yang diwakili Jarmanto dan Slamet rupanya punya maksud tersendiri. Konon Slamet ini adalah Wartawan Harian Pedoman yang diselundupkan oleh  Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam tubuh GMNI untuk membelokkan arah tujuan. Hal tersebut dimungkin, karena partai politik pada waktu itu diharuskan memiliki anak partai yang berada disemua lapisan masyarakat, disamping juga persiapan langkah dalam mneyongsong pemilihan umum yang pertama tahun 1955. Secara ideologis, tentu saja bersikeras untuk menolak Marhaenisme sebagai azas organisasi, agar nantinya GMNI dapat diwarnai oleh ideologi PSI yang berazas Marxis-Engels. Jadi tampak sekali bahwa GMNI semenjak lahirnya sudah kesusupan orang yang mempunyai lain tujuan. Sementara cabang Yogyakarta memungkinkan untuk disusupi karena kecenderungan cabang disana yang relatif kurang comited terhadap ideologi, kecuali selalu dengan teori-teori steril dan nama-nama populer seorang cendikiawan. Namun demikian dengan penuh semangat kebersamaan, kongres mencapai kata putus bahwa azas GMNI adalah MARHAENISME.
Dalam kongres itupula dibahas bagaimana hubungan organisasi GMNI dengan PNI. Apakah GMNI akan menjadi onderbow PNI ataukah secara organisatoris lepas dengan PNI?. Masalah ini cukup penting untuk dibahas justru karena kondisi politik masa itu, sebagai konsekuensi liberalisme politik di Indonesia. Demokrasi parlementer menciptakan situasi yang cukup kondusif bagi pelebaran sayap dan intervensi partai kesemua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kehidupan mahasiswa. Disamping karena ada kesamaan azas antara PNI dan GMNI, secara politis terselenggaranya fusi dan Kongres ke-I GMNI sedikit banyak ada kerjasamanya dengan oknum-oknum PNI. Oleh karenanya cukup wajar bila kongres tersebut menyinggung bagaimana hubungan organisatoris PNI dan GMNI. Atas kesadaran yang tinggi dan kejernihan berpikir para peserta kongres akhirnya diputuskan dalam rapat pleno bahwa GMNI Independent. Tentu saja keputusan ini mengundang reaksi pihak PNI yang banyak berkepentingan terhadap keputusan kongres GMNI, yang menyatakan secara eksplisit keterkaitan langsung secara organisatoris terhadap PNI. Oleh karena keputusan menjadi lain sebagaimana yang diharapkan, konon bantuan dana dari DPP PNI untuk biaya kongres tidak jadi dicairkan, kecuali biaya yang sudah dikeluarkan untuk operasional kegiatan teknis.
SIFAT DAN WATAK GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Setiap organisasi memiliki ciri chas dan wataknya sendiri, demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan. Sifat dan watak GMNI sebagai organisasi perjuangan tercermin pada nama dan azas organisasinya, yakni Nasionalistik dan berwatak kerakyatan.
GMNI sebagai organisasi perjuangan mewajibkan para angota-anggotanya untuk senantiasa dinamis dalam berfikir dan bertindak. Dinamisme sebagai prinsip perjuangan bukanlah sekedar kata kosong yang tidak punya makna. Akan tetapi pengertian tersebut sebagai ruang hidupnya organisasi, secara hakiki mempunyai sifat yang tetap yaitu bergerak. Semua masyarakat di dunia ini bergerak, berubah dan berkembang. Penyatuan dengan sifat masyarakat itulah maka GMNI menggunakan nama Gerakan Konsisten dengan nama itulah maka sudah merupakan keharusan bagi anggota GMNI untuk senantiasa bergerak, baik pikiran maupun tindakan. Maka itu, terpukau pada kejayaan masa lalu dan tenggelam pada kekinian pada dasarnya merupakan sikap yang tidak benar bagi anggota GMNI, sebab sikap semacam itu merupakan sikap yang tidak dinamis atau mandeg.
Manusia adalah mahluk sosial atau zoon politicon kata Aristoteles. Sebagai mahluk sosial manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup mengelompok dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam kecenderungannya itu, manusia membentuk organisasi sebagai wadah berkelompok dan berkerja-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Oleh karena itulah banyak ragam organisasi dimasyarakat, sebanyak kepentingan manusia. Mulai dari pelacur samapi direktur hampir memiliki organisasi. Ketika manusia mencapai kesadaran agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri, maka muncullah organisasi-organisasi perjuangan untuk menunaikan tugas sejarah dan tugas kemanusiaan. Artinya organisasi itu berdiri bukan dimaksudkan untuk hanya mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan anggota-anggotanya, melainkan untuk menunaikan perintah Illahi. Sehingga diwajibkan bagi anggota organisasi tersebut, motivasinya untuk bergabung sebagai saudara perjuangan haruslah didasari karena panggilan suci, bukan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan, mengingat dikalangan mahasiswa masih ada juga yang sadar akan panggilan suci itu, maka GMNI memberanikan diri untuk mengorganisirnya dalam satu wadah perjuangan. Maka itu pengertian mahasiswa dalam nama GMNI maupun sebagai syarat keanggotaannya adalah tidak sekedar kategori mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan sadar akan tugas sejarah dan kemanusiaanya, sebagaimana diperintahkan Ilahi.
Kata nasional dalam GMNI menunjuk sifat hakiki dalam organisasi. Pengertian nasional kecuali sebagai ruang lingkup kegiatan, secara idiologis ia menunjukkan faham yang menjadi identitas GMNI. GMNI sebagai organisasi perjuangan sejak semula menyadari heterogenitas masyarakat Indonesia. Sungguhpun faham kebangsaan sudah disosialisasikan semenjak jaman kebangkitan nasional dulu, sampai kini masih tampak dalam masyarakat kita ikatan-ikatan primordial yang terus melembaga. Kenyataan ini tidak terkecuali pada kehidupan mahasiswa yang semestinya sudah bisa berfikir. Ikatan ke-daerahan, ke-sukuan, ke-Agamaan, status sosial dan sebagainya itu, pada dasarnya menyimpan bahaya bagi persatuan dan kesatuan Nasional. Maka itu GMNI tetap mempunyai tekad untuk melawannya secara kritis. Sebagai pengejawantahan dari pandangan ini GMNI tidak membatasi diri pada keanggotaannya atas dasar ikatan primordial tersebut!. Siapapun mahasiswa Indonesia diperkenankan masuk GMNI. Apapun Agamanya, kesukuannya dan dari mana asal daerahnya, asal mereka itu mahasiswa Indonesia yang terpanggil untuk berjuang menunaikan tugas sejarah akan diberi peluang untuk menjadi anggota GMNI. Oleh karena itu adalah sikap penyelewengan idiologis bila anggota GMNI masih memandang masalah itu dari kacamata primordialisme, sedangkan kata Indonesia dalam GMNI adalah penegasan dari kata Nasional yang bermakna kultural-politis.
Sebagaimana telah diputuskan dalam Kongresnya yang pertama, GMNI adalah organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme, suatu karya fikir yang sangat cemerlang dari Bung Karno dalam rangka menyatukan Bangsa Indonesia dan sekaligus sistem nilai yang menjadi pedoman aksi dalam melawan Kolonialisme dan Kapitalisme. Penggunaan Marhaenisme sebagai azas GMNI tidaklah karena faham tersebut merupakan karya Bung Karno sebagai orang besar, melainkan karena GMNI memahami kaitan kondisi obyektip masyarakat Indonesia dengan substansi dari Marhaenisme itu sendiri. Marhaenisme sebagai azas perjuangan substansinya  terdiri dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme merupakan pandangan kebangsaan yang berprikemanusiaan dan Sosio-Demokrasi adalah faham  yang menghendaki tidak hanya demokrasi dalam arti politik, akan tetapi juga Demokrasi dalam dimensi ekonomi, atau yang disebut dengan Demokrasi Sosial. Komitmen ideologi yang demikian itulah mengharuskan GMNI senantiasa berorientasi pada rakyat, dan bersama-sama rakyat mengadakan perbaikan-perbaikan secara kritis dan dinamis. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari pemahaman substansial komitmen perjuangan yang diabstraksikan dari akar kehidupan dan aspirasi rakyat yang tertindas.
Idealisme yang mewarnai GMNI sebagai organisasi perjuangan bukanlah mitos yang turun dari langit begitu saja, akan tetapi merupakan kristalisasi pemikiran dan tindakan yang berkesadaran penuh sebagai manusia yang meng-ada bersama dunia. Oleh karena itulah wawasan kebangsaan yang utuh dan keprihatinan serta keterlibatan terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat secara kongkret merupakan identitas penting anggota GMNI. Dengan kata lain pengertian diatas mengandung makna sifat dan watak yang Nasionalistik dan Berkerakyatan.
GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Sejak berdirinya GMNI sebagai organisasi tidaklah semata-mata merupakan wadah untuk berkelompok, bagi orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Berdirinya GMNI sebagai organisasi tidak terlepas dari idealisme yang mendasarinya. Idealisme GMNI berada didalam keprihatinan anak jaman terhadap masyarakatnya dan sistem nilai yang terangkum didalam azas perjuangannya. Idealisme GMNI berorientasi kerakyatan dan bertujuan mencapai masyrakat tanpa penghisapan manusia atas manusia. Idealisme tersebut menjadikan GMNI sebagai organisasi bukanlah sekedar interest group, melainkan GMNI adalah organisasi perjuangan. Maksudnya bahwa GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independent dan berwatak kerakyatan, tidak semata-mata sebagai wadah untuk mengartikulasikan kepentingan anggota-anggotanya, bukan sekedar sebagai saluran politik untuk mobilitas vertikal masuk supra struktur politik, melainkan wadah bagi mahasiswa-mahasiswa yang memiliki idealisme dan sadar akan tugas kemanusiaannya. Oleh karenanya bagi seseorang memiliki minat untuk memasuki GMNI, sejak dini harus menyadari bahwa aktip di GMNI merupakan pilihan untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi. Dalam mendinamisasikan tenaga-tenaga pembangun bagi perwujudan cita-cita proklamasi, diperlukan adanya organisasi yang siap dan tanggap dalam menyiasati keadaan. Fungsi yang demikian itu mengasumsikan adanya komitmen perjuangan yang berorientasi kerakyatan. Oleh karena sejak semula GMNI menyadari akan kediriannya dan keadaan masyarakatnya, maka secara fungsional GMNI menyediakan diri sebagai alat. Jadi secara fungsional GMNI sebagai organisasi merupakan alat yang dipergunakan untuk melahirkan kader-kader Bangsa dan juga sebagai wahana untuk mendinamisasikan kader-kader Bangsa dalam menunaikan tugas sejarah dan kemanusiaannya untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Dalam kehidupan kongkret manusia lahir tidak dilengkapi dengan instrumen yang siap pakai kecuali potensi manusiawinya, karena hakekat manusia memang mahluk belum selesai. Keadaan yang demikian mengharuskan manusia untuk bekejasama dengan yang lainnya. Kerjasama manusia menjadi terwujud disebabkan karena adanya hubungan saling memberi. Salah satu bentuk hubungan saling memberi adalah manusia saling mendidik. Sehingga manusia mampu mencapai tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman dan keterampilan yang melampaui keadaan semula sebagai pengejawantahan aktualisasi potensi manusiawinya. Proses ini menjadi penting karena manusia semakin meningkat harkat kemanusiaannya. Proses tersebut dimungkinkan karena adanya situasi yang kondusif, sehingga potensi manusiawinya mendapat ruang gerak yang cukup untuk diaktualisasikan, untuk kemudian manusia menjadi eksis. Demikian juga GMNI sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Kader bukanlah manusia bentukan yang dipola dengan desain tertentu, melainkan kader adalah manusia yang “menjadi” karena mampu mengaktualisasikan potensi dirinya. GMNI sebagai alat pendidikan kader mempunyai tugas menciptakan situasi kondusif agar anggota-anggotanya dapat memasuki proses menjadi dalam rangka eksistensi dirinya sebagai bingkai perjuangan Bangsa. Melalui proses menjadi inilah seluruh anggota GMNI diharuskan memantapkan pendefenisian dirinya sebagai kader. Oleh karena keanggotaan GMNI terbatasi oleh waktu sesuai dengan status kemahasiswaannya, maka tidak mungkin seseorang untuk terus menjadi anggota aktip. Kenyataan tersebut menjadi dasar juga kenapa GMNI menyediakan diri sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Bagi mereka yang cukup berhasil mendefenisikan dirinya sebagai kader tidak mungkin memonopoli hanya harus mengabdi pada GMNI. Untuk itulah kader-kader GMNI diberi kebebasan memilih setelah lepas menjadi anggota aktif. Maka itu GMNI tidak terikat pada partai politik apapun. Anggota-anggota GMNI sebagai kader hanya terikat pada kepentingan rakyat dan Bangsa Indonesia. Dalam makna itulah GMNI menyediakan diri sebagai alat pendidikan kader Bangsa.
Sebagai alat pendidikan kader Bangsa GMNI bertugas mendidik anggota-anggotanya dalam konteks kejuangan agar senantiasa comited pada kepentingan rakyat dan Bangsa. Melalui pendidikan tersebut diharapkan lahir pemuda-pemuda yang berkepribadian kokoh, tanggap pada situasi dan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian anggota-anggota GMNI sebagai kader Bangsa dapat memberikan sumbangsihnya pada pembangunan Bangsa. Oleh karenanya kader GMNI bukanlah milik dari segolongan masyarakat saja. Kader GMNI merupakan bagian integral dari potensi Bangsa yang terus berjuang melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Maka tidak benar jika ada ungkapan bahwa kader GMNI adalah kader PDI. Bagi GMNI pernyataan tersebut penting diungkapkan, karena ada kecenderungan dalam masyarakat memandang GMNI sebagai anak dari PDI.
Berdampingan dengan GMNI sebagai alat pendidikan kader Bangsa, GMNI sebagai organisasi adalah alat untuk mencapai cita-cita proklamasi, yakni masyarakat Sosialis-Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai alat untuk mencapai cita-cita Proklamasi, GMNI diharuskan ber-kiprah di tengah masyarakat  dengan tanpa pamrih. Tugas demikian tidak mungkin terselenggara apabila GMNI tidak memiliki idealisme yang kuat dan tekat untuk merealisasikan idealisme tersebut. Ber-kiprah di tengah masyarakat untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dan melawan ketidak-adilan, bukanlah kerja manusia tanpa ideologi, maka itu dengan ideologi yang diyakininya GMNI mendinamisir anggota-anggotanya didalam struktur organisasi dan Anggaran Rumah Tangganya. Pengaturan tersebut merupakan upaya mensistematiskan kegiatan kolektif dari potensi perjuangan agar lebih terarah dan kokoh sebagai suatu kekuatan pemabaharu.
Memang tanpa organisasi seseorang dapat mengabdikan dirinya pada cita-cita proklamasi, akan tetapi sudah menjadi keyakinan dan hakekat manusia apabila kekuatan yang berpencar itu dijadikan satu entitas perjuangan, maka sejarah sudah membuktikan aktivitas kolektif lebih memiliki daya jangkau yang lebih jauh. Oleh karena GMNI sebagai organisasi perjuangan senantiasa berupaya mensistematisir arah gerak anggota-anggotanya selaras dengan keperluan Bangsa. Sesuai dengan tingkat perjuangan dan perkembangan masyarakat.
Menegakkan GMNI sebagai organisasi perjuangan, secara organisatoris dilakukan dengan membangun slagorde organisasi, disamping dengan membina hubungan dengan kekuatan lain. Upaya tersebut dilaksanakan dengan mensosialisasikan GMNI di tengah masyarakat, merekrut anggota, mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah yang strategis dan potensial. Setelah dua tahun GMNI menghirup udara perjuangan Bangsa, kemudian pada tahun 1956 di Bandung mengadakan Kongresnya yang ke-II, dalam Kongres tersebut banyak dibicarakan masalah konsolidasi organisasi.
Pelaksanaan konsolidasi organisasi dalam tingkatannya yang kemudian, menjadikan GMNI sebagai bayi yang baru lahir secara kuwantitatif membengkak, baik jumlah anggota maupun jumlah cabang yang terbentuk. Pada tahun 1959 di kota Malang sekitar 100 cabang GMNI berkumpul mengadakan Kongres yang ke-III. Semenjak itu dikarenakan kehidupan mahasiswa dan kehidupan pergerakan, GMNI tidak bisa diabaikan. Kemudian pada tahun yang sama di Kaliurang-Yogyakarta GMNI mengadakan konperensi besar. Dalam konperensi tersebut hadir Bung Karno sebagai Presiden R.I. berkenan memberikan pengarahan pada anggota-anggota GMNI. Dalam pengarahannya itu Bung Karno sebagai pencetus Pancasila banyak menyinggung masalah-masalah dasar dari azas perjuangan. Disisi lain konperensi besar telah menetapkan keputusan penting, antara lain :
  1. Ditetapkannya perubahan lembaga kepemimpinan nasional dari DPP menjadi Presidium,
  2. Ditetapkannya bahwa GMNI secara organisasi menjadi onderbow dari PNI.
GMNI DIUJI JAMAN
Memasuki dasawarsa 60-an GMNI sebagai organisasi sudah menyebar keseluruh Indonesia, dengan waktu yang relatif singkat, tidak lebih lima tahun dari awal terbentuknya GMNI sebagai organisasi perjuangan sudah tidak bisa dipandang sepi kehadirannya.
Kehidupan kampus yang kemudian banyak dikuasai dan diwarnai oleh mekarnya GMNI banyak mengundang kecemburuan. Semenjak itu lembaga-lembaga juga di organisasi-organisasi ekstra kampus, pewarnaan GMNI dalam kehidupan kemahasiswaan membuat pamornya menjadi naik. Keadaan tersebut memberikan peluang pada GMNI untuk menggarap basis semakin luas. Disetiap fakultas berdiri komisariat-komisariat yang memiliki cukup banyak anggota yang riil. Animo mahasiswa untuk memasuki GMNI menjadi cukup besar, bukan hanya karena popularitas GMNI melainkan juga karena kemudahan-kemudahan yang dapat diperoleh dengan mengatasnamakan GMNI. Hal ini dimungkinkan karena semenjak GMNI menjadi onderbow PNI dan hubungan GMNI dengan Bung Karno yang tidak begitu jauh, telah memberikan peluang bagi pemanfaatan keadaan. PNI sebagai organisasi besar dan memiliki banyak kekuasaan, tidak sedikit memberikan pengaruh terhadap keadaan itu. Namun semenjak itu pula GMNI telah menjadi anak manja yang kurang mawas diri. Sehingga GMNI pada masa itu merupakan jaminan bagi masa depan, tetapi bukan jaminan bagi terbentuknya insan pejuang yang berkarakter kerakyatan serta konsisten pada idealismenya.
Tahun 1962 di Yogyakarta GMNI mengadakan Kongres yang ke-IV. Memasuki dasawarsa 60-an GMNI memang ditandai dengan kejayaannya, tapi masa itu juga GMNI sebagai organisasi besar hanya sedikit memiliki kader-kader pejuangnya. Hal tersebut dikarenakan banyak mahasiswa memasuki GMNI bermotivasi prakmatis. Sementara organisasi yang berazaskan kerakyatan itu terlampau sibuk dengan pengaturan-pengaturan kursi, sehingga tidak banyak kesempatan untuk menggembleng dan menyaring anggota-anggotanya sebagai kader yang berkepribadian. Akibatnya organisasi mahasiswa yang tampak besar dari bajunya itu, hanya sedikit memiliki kekuatan. Hal ini terbukti nanti ketika GMNI sedang menghadapi tekanan-tekanan politik, kecuali beberapa kader yang memang konsisten pada perjuangannya, hampir sebagian besar melarikan diri tanpa menyebut dirinya lagi sebagai GMNI.
Hubungan GMNI dan PNI yang begitu dekat secara organisatoris dan politis, dan juga keterkaitannya dengan Bung Karno sudah menjadi hubungan kesejarahan. Masing-masing memiliki ideologi yang sama untuk diterapkan di Indonesia. Secara ideologis bila dibanding dengan PNI, sebenarnya GMNI memiliki sedikit kelebihan terutama karena basis anggotanya, dengan basis intelektual yang cukup kuat disamping semangat pemuda yang siap tempur. Keadaan yang demikian menjadikan GMNI satu incaran utama dalam perhitungan politik dari lawan-lawan politik Bung Karno dan PNI. Konon yang banyak diperhitungkan oleh Aidit. CS dalam prospek percaturan politik Nasional adalah kader-kader GMNI yang masih muda ketimbang pimpinan PNI sendiri. Bukan tidak mungkin dalam suksesi kepemimpinan, Bung Karno tidak melirik kader-kader GMNI. Ketika PNI sudah menjadi konservatif dalam percaturan ideologis sebenarnya GMNI merupakan rival utama bagi PKI. Justru karena ideologi keduanya masing-masing berorientasikan kerakyatan, tapi berbeda dalam filsafat dan metode kerjanya, jadi dapat dikatakan bahwa GMNI versus PKI merupakan rivalitas tanpa achir, sebab dimana ada GMNI kemudian muncul PKI, keduanya akan bertarung sengit secara ideologis. Dengan gambaran tersebut, masikah kita percaya pada pendapat orang bahwa GMNI berbahu PKI?!. Saya kira hanya ketololan manusia yang akan mempercayainya.
Dasawarsa 60-an bagi GMNI merupakan tahun-tahun yang menggetirkan. Keterkaitan GMNI dengan PNI mempunyai dampak langsung terhadap keberadaannya. Masa itu secara politis PNI pecah dalam dua kubu yang saling berhadapan. Secara populer itu ditandai dengan munculnya PNI OSA-USEP dan PNI ASU. Keadaan ini tidak menguntungkan GMNI, sebab perpecahan tersebut berakibat langsung pada persatuan dan kesatuan organisasi. Untuk pertama kali, GMNI mengalami perpecahan organisasi secara Nasional. Keputusan Kongres diinjak-injak secara akonstitusional. Presidium hasil Kongres yang lebih sah memimpin organisasi disisihkan dengan dibentuknya Presidium lain atas SK. DPP PNI. Dengan fenomena yang ada, banyak orang mengatakan GMNI masa itu terjadi dua kubu yang terkait langsung dengan perpecahan di PNI. Sehingga timbul juga istilah GMNI OSA-USEP dan GMNI ASU. Dalam kondisi organisasi yang tidak menguntungkan itu situasi politik di Indonesia juga sedang keruh. Kudeta berdarah berlangsung dalam gerak cepat pada tahun 1965, yang dilanjutkan dengan gerakan pembersihan unsur “kiri”. Peta politik di Indonesia bergerak ke “kanan” meruntuhkan singgasana Presiden Soekarno dan sekaligus PNI sebagai partai besar masa itu. Celakanya keberadaan GMNI harus juga tersungkur dan tenggelam dalam gelombang pasang-surut. Sejak itu GMNI kehilangan peran dan hidup dalam kevakuman. Sekalipun pada tahun 1969 di Salatiga diadakan Kongres ke-V, namun GMNI sebagai organisasi pudar eksistensinya hingga tahun 1976.
MASA KEBANGKITAN KEMBALI
Dalam kondisi yang cukup memperihatinkan GMNI sebagai organisasi perjuangan mencoba bangkit kembali. Dengan bekal semangat keberanian mengambil resiko, GMNI mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, sehingga pada tahun 1976 di Ragunan Jakarta diselenggarakan Kongres ke-VI. Dalam Kongres tersebut pengalaman panjang perjalanan GMNI di-evaluasi kembali.  Sadar bahwa sikap tidak independent merupakan salah satu faktor penting bagi kemunduran peran organisasi, maka melalui Kongres ditetapkan “Independensi” mutlak harus ditegakkan.
Masa kebangkitan kembali GMNI lebih ditekankan pada kegiatan konsolidasi organisasi di daerah yang potensial bendera GMNI dicoba untuk berkibar. Secara Nasional slagorde organisasi ditata sampai tingkat basis. Kesemuanya memang butuh waktu. Tetapi dengan bekal semangat membara tanpa menyimpan rasa dendam, kader-kader GMNI mulai berkiprah kembali. Sambil bergerak mengkosolidasi organisasi, GMNI membulatkan tekat independisnya melalui Kongres ke-VII yang diselenggarakan pada tahun 1979 di Medan. Independensi yang ditetapkan dalam Kongres tersebut mencakup independensi dalam arti organisatoris, politis dan sosio-kultural.
Pemahaman GMNI terhadap ideologi Pancasila sebagai produk historis dan manusiawi menuntut GMNI menggunakan secara konsisten Pancasila sebagai azas perjuangan. Untuk itulah jauh hari sebelum undang-undang keormasan ditetapkan oleh pemerintah, GMNI mengambil inisiatip untuk menjadikan Pancasila sebagai azas organisasi. Pada Kongres ke-VIII yang dilaksanakan pada tahun 1983 di Bandung sikap ini ditetapkan secara organisatoris. Dengan bekal pemahaman ini, GMNI terus mencoba bangkit dan bergerak menemukan kembali peran dan keberadaan dirinya. Kongres ke-IX diadakan di Samarinda pada tahun 1986 dengan keputusan penting menetapkan nilai-nilai dasar perjuangan dan sistem pendidikan kader. Keputusan ini menjadi pedoman dasar bagi gerak perjuangan GMNI hingga mengantarkan memasuki Kongres ke-X di Salatiga pada tahun 1989.
Demikian sepintas kilas perjalanan GMNI sebagai organisasi dan selamat mempelajarinya dari dalam!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar