Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini
banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah,
kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan
politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias
Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3
lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga
untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan
undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya
pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang
jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan
manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang
berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang,
terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan
mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun
demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus
atau tanpa halangan.
Sejarah Trias Politika
Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif
yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin
oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun
kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh
perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki
sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang
paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah
menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut
Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia
sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di
tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar
adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani
adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada
kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M),
kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan
gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara
akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada
tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk
mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan
contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana
kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan
gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep
Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara
yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di
dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of
Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa
fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)”
dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus
dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang
yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis
sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang,
utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan
raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para
bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan
mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya
peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik
pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk
memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak
melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah
tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat
undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah
bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’
tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke,
masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum
bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela
olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk
berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat
undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu
Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka
buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan
negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan
Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun
liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai,
pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu
simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan
1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai
dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian
disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de
Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke.
Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang
terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan,
Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam
kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang
berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang
mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama,
penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan
kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta,
menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan
kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar
individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain
kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak
diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari
pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami
persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab
Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya
membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat),
ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme
pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai
politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya
Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif
sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism
Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di
Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan,
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen,
Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh
DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency
Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi
para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara
100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut
mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu,
penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia
suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat
bukan ?
Supervision and
Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya
pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera
mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR
melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun
mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah
fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang
harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi
pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan
bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput
tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun
internet.
Representation,
merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah
disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000
orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di
dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak
bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR
akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan.
Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini
masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa
kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka
isu politik.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan
undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif
ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief,
Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh
Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi
seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol
suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti
tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini
misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan,
penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government,
artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang
melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri,
menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu
lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga
donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan
fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala
negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara
tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia
ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh
Presiden.
Party Chief
berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu
partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di
suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem
parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal
dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem
pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa
pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9%
suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem
pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif
dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara
partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan
dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in
Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata.
Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata.
Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang
militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak
militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan
kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana
banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang
terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di
masa pemerintahannya.
Chief Diplomat,
merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di
perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke,
termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara
lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif
adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat,
juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen
Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani
perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini,
penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun
anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana
menteri.
Chief
Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya
suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan
DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif
mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil
dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang
sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi
undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi
Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut:
Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan,
perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar
penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi
negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law,
penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia
sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan
Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga
biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya
dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution
Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah
Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu
undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di
Mahkamah Konstitusi.
Administrative
Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International
Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah
kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar